Thanks for this day.. May God bless us everyone and everywhere..
Diberdayakan oleh Blogger.

Senin, 31 Januari 2011

one day: two women

Pagi itu Rico tiba di terminal keberangkatan domestik di bandara itu. Meski masih pagi dan udara belum begitu terasa panas, namun suasana di terminal itu sudah sangat ramai penuh sesak dengan calon penumpang ataupun pengantar dan penjemput, dengan barang bawaan masing-masing yang begitu banyak.

Rico berjalan sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempat itu dan ternyata tempat duduk di situ sudah tak bersisa lagi buatnya. Lalu ia langsung melangkahkan kakinya menuju tempat biasa ia menunggu jam keberangkatan. Ya, di terminal keberangkatan internasional itu biasanya lebih lega, tak banyak orang bergerombol, karena itu pasti masih banyak menyisakan bangku kosong buatnya.


Di samping resto cepat saji ia mendapati tempat itu masih lengang. Di sana terdapat bangku panjang yang hanya diduduki oleh satu orang bapak paruh baya, dan di sebelahnya seorang wanita muda dengan trolly berisi 3 tas besar di depannya. Pakaiannya cukup modis. Dengan menggunakan celana pendek berwarna hitam, dipadu dengan tanktop di atas pusarnya dibalut cardigan lengan panjang.

Rico kemudian menghampiri bangku panjang itu, dan sambil memandang wanita yang sedang duduk itu, ia sunggingkan senyuman tipis padanya sebagai bentuk sapaan buat wanita itu dan akhirnya merekapun saling bertukar senyum. Tak berapa lama wanita muda itu autis dengan BlackBerry seri 9105 yang sejak tadi ada di genggamannya. Ricopun kemudian duduk dengan santai tanpa menyapa wanita itu dengan satu katapun. Ia menaruh tas punggungnya di samping bangku, sedangkan tas jinjingnya ia taruh dipangkuannya sambil merapikan kembali kertas-kertas yang tadi buru-buru ia masukkan ke dalam tas sebelum ia keluar dari kamar hotel.

Tanpa terasa 30 menit berlalu. Tak ada pembicaraan apapun di antara mereka. Mereka sepertinya sama-sama sibuk dengan pikirannya masing-masing. Saat itulah, datang seorang wanita muda ke arah mereka. Tubuhnya padat dengan langkah kaki yang mantap dan lebar. Ia menggunakan sepatu kets, celana panjang jeans dipadu dengan baju motif kembang, dibalut jaket tebal, yang dipermanis dengan syal berwarna abu-abu.
“Dik, di sana ada yang jual makanan, tapi bukanya jam 8,” Ujar wanita yang baru datang itu kepada wanita yang duduk di sebelah Adri, setelah ia tiba di depan bangku yang mereka duduki. Rupanya, wanita ini habis mencari tempat makan untuk sarapan mereka. Wanita itupun akhirnya duduk di sebelah Rico. Bak seorang pangeran, ia diapit dua wanita cantik yang belum dikenalnya.
“Penerbangan yang jam berapa mas?” Tanya wanita berjaket tebal itu.
“Jam 2,” Jawab Rico.
“Kalau mbak, penerbangan jam berapa? Rico balik bertanya.
“Jam 10 mas,”
“Mas mau kemana?”
“Mau ke Denpasar,” jawabRico
“Oh, sama dong sama kota asal temenku ini,”
“Lha mbak mau kemana…? Tanya Rico
“Aku mau ke Yogya mas. Tapi aku belum tahu ni, temenku yang satu ini mau kemana…”
Sesaat kemudian, mereka kemudian asyik berbincang, karena mereka sama-sama pernah tinggal di Yogya.
***

Rico akhirnya tahu kalau wanita muda ini bernama Fajri. Ia bekerja di sebuah resort di negara Maldiva yang secara jujur, Rico tidak mengetahui di mana letak negara itu. Tapi ia tidak berusaha menanyakannya pada Fajri. Biarlah hal itu menjadi PR buatnya. Fajri menceritakan bahwa tiap pagi ia selalu jogging keliling pulau yang hanya butuh waktu tempuh sekitar 20 menit saja. Ia juga berkata bahwa tahun ini ia mendapat tugas dari perusahaannya untuk bekerja di Thailand, dan bulan ini ia mendapat jatah libur selama 1 bulan. Ia telah mempunyai pacar, seorang yang berasal dari Skotlandia. Sudah 2,5 bulan ia tak bertemu dengan pacarnya, karena ia sedang berada di Oman.

Fajri bercerita tentang dirinya dengan sangat lugas, tegas, tampak sekali kalau pengalaman hidupnya telah banyak dilalui olehnya. Ia bercerita juga tentang perjalanannya pulang kampung, dan sampai di bandara ini sejak kemarin sore. Jadi, ia menginap di bandara ini sejak semalam, bersama wanita muda di sebelah Rico pula, yang kemudian Rico tahu ia bernama Santi.
“Mas, call center nomornya berapa ya..? Tanya Fajri memecah kebisuan.
“Kalau informasi, tanya aja di pusat informasi mbak,” jawab Rico.
“Bukan… Call center buat semuanya itu lho mas.. Ini temenku mau nanya nomor telepon hotel,” sanggah Fajri .
“Oh.. 147,” jawab Rico. Rico memang tak banyak kata. Sepertinya, bendahara katanya sedikit sekali. Jika ada yang bertanya, ia selalu menjawab pendek-pendek. Itu sudah lumayan, bisa sedikit mengobrol dengan orang yang baru ditemuinya itu. Karakternya apa adanya dan jauh dari kesan mengobral kata.

Waktu telah menunjukkan jam 8 pagi. Fajri dan Santi pamit untuk pergi ke tempat makan yang tadi disurvey Fajri. Mereka sempat mengajak Rico, tetapi dengan halus Rico menolaknya, karena ia memang sudah sarapan saat di hotel.

Menunggu memang sebuah aktivitas yang menjemukan. Tetapi tidak bagi Rico. Ia selalu saja ada aktivitas sekecil apapun itu, untuk membunuh kejenuhan yang menyerangnya. Ia kembali membaca hasil-hasil dari kerjanya saat ia harus ditugaskan di kota ini. Kembali mengevaluasi apa yang telah ia kerjakan, agar ia bisa berbenah dan memperbaikinya di kemudian hari.

Satu jam berlalu, ketika dua wanita muda itu kembali lagi ke tempat semula. Mereka duduk di sebelah Rico yang tengah asyik dengan dokumen-dokumen di tangannya. Kembali Fajri berceloteh tentang segala pekerjaannya, aktivitasnya di negara kecil di kepulauan itu, dan kehidupan masyarakat di sana, tak ketinggalan pula ia bercerita tentang selebriti-selebriti dunia yang datang ke resort di mana ia bekerja. Sementara itu perlahan namun pasti, Rico memasukkan kembali dokumen-dokumen yang ia baca ke dalam tas, sambil mendengarkan wanita ini bercerita.
“Kak, kalau kamu terbang jam 10, nanti aku sama siapa…? Tanya Santi tiba-tiba.
“Kan ada mas Rico ini yang terbang jam 2, jadi kamu ngobrol aja sama dia sambil nemenin kamu di sini,” ujar Fajri.
“Kami memang udah ada di sini sejak semalam mas, dan Santi sedang marahan sama calon suaminya, jadi dia sekarang lari dari hotel tempat dia nginep sama calon suaminya itu,” papar Fajri.
“Ok… I’ve to go…!” Ujar Fajri, saat waktu menunjukkan hampir jam 10. Fajri langsung memeluk Santi yang masih tampak sedih sambil berkata, “Tabah ya dek..Aku pamit dulu,”
“Tapi, aku sama siapa kak…? Bergetar suara Santi sambil menahan air matanya yang sudah mengembun di kedua matanya.

Fajri hanya tersenyum menjawab pertanyaan Santi. Sambil menarik koper ekstra besar di tangannya itu menuju gate keberangkatan domestik, ia menyalamiku dengan eratnya.
“Selamat jalan, mas.. Aku senang sekali berkenalan dengan mas,” katanya sambil tersenyum.
“Sama-sama, mbak.. Selamat liburan, salam buat keluarga ya,” ucap Rico sambil melempar senyumnya, sementara matanya menatap sosok Fajri yang kian menjauh, meninggalkan Rico dan Santi dengan langkah yang pasti dan mantap.
***

“Mas, Kak Fajri itu kayak laki-laki ya…?” Kata Santi mengawali pembicaraan.
“Iya, dia tegar dan mandiri. Biasa kemana-mana sendiri soalnya…” Jawab Rico.
Santi akhirnya menceritakan semua kejadian yang ia alami. Ia kabur dari hotel termahal di kota ini, meninggalkan calon suaminya karena ia tengah bertengkar hebat dengan calon suaminya. Calon suaminya, seorang presiden direktur dari sebuah perusahaan produk makanan diet untuk wanita. Rico menyimak setiap kata yang keluar dari bibir mungil seorang tunangan presiden direktur ini dengan baik. Hingga Rico bertanya, “Sebenarnya mbak ini mau kemana sih…?”
“Ga tau, kak. Tadi malem aku ribut sama calon suamiku. Kalau aku ga segera keluar dari hotel itu, aku takut terjadi sesuatu yang lebih parah, karena kami sama-sama lagi dalam emosi yang tinggi…”
“Kenapa harus bertengkar to mbak… Jadinya kan mbak sendiri yang repot sekarang,” ujar Rico mencoba menenangkan Santi.
“Iya sih.. Aku jadi repot. Sekarang aku baru tahu rasa. Aku pikir, kalo dia sayang sama aku, dia bakal nyari aku. Tapi nyatanya sudah semalam dan hingga detik inipun, dia ga nyari aku. Berarti dia memang ga sayang sama aku,” papar Santi.

“Sebenarnya, aku tahu, aku yang salah kak. Tapi mau gimana lagi, aku masih muda. Umurku 20 tahun, dan calon suamiku sudah usia 41. Mungkin karena perbedaan usia inilah, kami selalu ga sepaham. Calon suamiku itu kerja terus-terusan. Ga kenal waktu. Rapat terus, rapat terus. Kumpul terus sama koleganya. Sudah 3 hari aku di hotel itu, dan akhirnya aku capek nungguin dia. Bayangin kak… Kemarin malem itu aku udah laper banget. Terus, aku order makanan untuk di kamar. Lalu aku telepon calon suamiku. Aku kan juga ingin makan bareng sama dia. Tapi dia masih rapat sama teman-temannya. Dia bilang tunggu sejam lagi selesai rapat. Aku tungguin sampai jam 12 malem, tapi ga muncul-muncul. Jam 2 malem, belum juga dateng. Sampai jam 4 subuh, aku telepon security hotel itu, dan dia bilang kalo lobby hotel sudah tutup, café juga udah tutup. Emosiku mulai memuncak kak. Akhirnya aku telepon calon suamiku itu. Ternyata dong… dia udah makan sama teman-temannya di KFC. Kakak bisa rasain kan perasaanku kayak apa saat itu…? Marah, jengkel, kecewa, sedih… semuanya campur aduk. Aku ga bisa menahan perasaanku, dan aku marah-marah di telepon. Aku bilang, pokoknya kamu harus cepet pulang sekarang. Meski alesannya malu sama temen-temennya karena sudah pesen makan, akhirnya makanannya dibungkus semua. Tapi aku udah ga peduli lagi. Aku hanya ingin dia cepet pulang atau aku yang nyusul ke temapt kumpul sama temen-temennya itu. Akhirnya dia pulang juga kak. Dan dia sempet berpesan sama aku, agar tetap keep smiling kalo ketemu sama teman-temannya di lobby hotel nanti, dan aku memang berusaha tetap menjaga wajahku agar ga kelihatan kecut kak. Karena, biar bagaimanapun, aku harus menjaga sikap di depan anak buahnya,” papar Santi seperti air yang sulit dibendung. Sesekali terlihat air matanya mengalir pelan.

“Maaf ya kak.. Ga seharusnya aku cerita. Tapi gimana ya, aku udah ga kuat lagi untuk ga cerita tentang masalahku ini,” ujar Santi yang memanggil calon suaminya ini dengan sebutan papa.
“Ga apa apa mbak.. terkadang kita memang butuh seseorang untuk berbagi,” jawab Rico.
“Sebenernya papa itu baik banget, sayang banget sama aku. Cuma dia itu ga ada waktu buatku, yang diapikir cuma kerja dan kerja. Dia hanya mengerjar pundi-pundi miliaran baginya. Dia punya target dalam 6 bulan ini dia harus dapat sekian miliar. Makanya dia kerja begitu keras. 

Tapi aku kan ga bisa kalo begini terus. Aku bilang sama dia, bahwa aku ga butuh uang miliaran. Aku hanya butuh papa. Aku sadar banget kak, cewek seusiaku ini kan lagi butuh orang yang selalu ada di sampingku. Aku ga peduli uang miliaran itu. Tapi yang dipikir papa hanya uang dan uang, dan kerja keras untuk hasil yang miliaran itu. Aku pengen seperti isteri-isteri yang lainnya kelak. Aku menyambut suamiku pulang kerja di depan rumah, dan bawain tas kerjanya. Lha kalo ini? Dia kerja sampai jam 4. Datang bukannya istirahat, malah masih telepon-teleponan sama temen-temannya. Urusan kerja lagi. Terus buat aku kapan…? Rasanya mau pecah ngerasain ingin disayang, ingin dikasih waktu tapi malah dicuekin. Emang enak dicuekin kak…?” ujar Santi sambil menerawang dan tak ada hentinya dia bercerita.
.........2be continued

3 komentar:

Aryadevi mengatakan... [Reply Comment]

wah diambil dari kisah nyata ...?...enaknya baca secara offline.....

Belantara Indonesia mengatakan... [Reply Comment]

mau jawab : kabar baik...kabar jeng Diana juga baik?.......amin...kalo baik..halah...

Mood mengatakan... [Reply Comment]

Hemm, sedang asik menikmati ceritanya. Eh masih bersambung, ya sudah saya tunggu sambungannya. Tapi jangan lama lama ya mbak :P

Posting Komentar

[[ Form mobile comments ]]