Thanks for this day.. May God bless us everyone and everywhere..
Diberdayakan oleh Blogger.

Rabu, 07 Desember 2011

Seandainya Ini Kertas Biasa


Sebagai salah satu pengelola warung mungil, maka aku mempunyai tugas untuk menyortir uang-uang yang menurutku sudah tak layak lagi untuk diedarkan kembali; dijadikan kembalian untuk para pembeli di warungku. Aku ga pernah menolak uang seburuk apapun yang dibawa oleh para pembeli. Asal nomor seri uang itu masih utuh, aku ga bakal menolaknya. Tapi entah mengapa, aku selalu merasa ga tega untuk memberi kembalian dengan uang kertas yang sudah lecek, bau, sobek sana sini dan lembek lepet itu. Oleh karenanya, aku memutuskan untuk menyetorkannya ke bank.

Ada rasa sungkan dan malu juga saat aku menyetorkannya ke bank. Bukan gengsi lho!

Sungkannya, aku ga enak sama pegawai banknya. Dia harus hitung manual (karena saking lepetnya uang itu, jadi udah ga bisa dihitung pake alat penghitung uang). Lagian kan uang-uang kertas lepet dan berbau yang kusetorkan itu  nominalnya kebanyakan seribu rupiah dan dua ribu rupiah yang bentar lagi mungkin pecahan yang kusetorkan itu menjadi setara Rp.1,- dan Rp.2,- (redenominasi).

Trus malunya, aku ngerasa bahwa akulah penyebab antrian panjang di belakangku (nunggu petugas bank ngitungin manual). Aku malu sama nasabah lain yang ngeliatku mejeng di paling depan dan mendapatiku: si biang kerok antrian panjang itu.

Tetapi, di lain sisi aku sangat bersyukur memiliki rejeki yang demikian ini. Inilah rejeki aku, meski dia kucel, bau, lepet, penuh debu, bahkan kadang uangnya sudah berubah warna, bagiku dia tetap cantik. Bagaimanapun bentuknya, dialah harta titipan dariNya yang akan kujadikan lagi menjadi modal. Jika sudah demikian, aku lupa dengan rasa sungkan dan malu. Meski terkadang perasaan itu muncul lagi, tapi menurutku itu masih wajar, ga berlebihan.

Aku pernah bilang ke petugas banknya gini, "Mas, maaf ya.... Aku selalu bawa uang-uang cantik ini yang udah bikin repot mas. Seandainya ini kertas biasa, pastinya udah kubuang mas..."
"Oh, gapapa bu. Saya bahkan pernah lho nerima uang-uang yang lebih lecek daripada ini, dan blom ditata sama penyetornya. Kalo ini kan udah diatur, jadi sayanya gampang ngitungnya...." Jawab petugas bank itu sambil tersenyum.
"Wah, ya makasih mas kalo gitu. Masa juga sih ga saya aturin dulu uangnya. Ini aja saya udah ngerasa kalo ngrepotin mas..." Timpalku lagi sambil tersenyum.

Nah, itulah aku si penyetor uang guladig. Guladig dalam bahasa Sunda berarti dekil dan sebangsanya. Pencitraan uang guladig mungkin sudah menempel. Tapi, itu semua kulakukan demi kepuasan para pelanggan warung mungilku. Ya, seandainya ini kertas biasa........ :D

8 komentar:

Iskaruji dot com mengatakan... [Reply Comment]

Ada sisi "menghargai" yg bisa aku ambil di tulisan ini. Kucel, lecek, dekil dan sebangsanya, ternyata tidak membuat orang yang memilikinya membuang itu ke tong sampah, tapi sebaliknya mengatur, menghitung dan merapikannya dengan senyuman. Sungguh indah dan betapa tingginya jika kita bisa menghargai sebuah "nilai"...nice post and happy blogging

Kutus Kutus Herbal, Bali mengatakan... [Reply Comment]

apapun bentuk dan warnanya, itulah karunia Allah
yang patut kita syukuri

narti mengatakan... [Reply Comment]

merasa gimana gitu mba...
sering sih menerima kembalian lecek, meski disini tidak selecek uang di kampung.
tapi kadang ada juga koq kasir yg ngasih kembalian uang yg masih bagus.

seandainya itu bukan uang
seandainya melipat uang sampai kecil itu gak boleh
seandainya kertas pembuat uangnya diganti
seandainya semua orang menyimpan uang kertasnya di dompet yg selebar uang kertasnya sehingga tak perlu melipatnya di dompet
seandainya...ah jadi banyak andai2 nih...

Nuel Lubis, Author "Misi Terakhir Rafael: Cinta Tak Pernah Pergi Jauh" mengatakan... [Reply Comment]

tapi bersyukur mbak kita di indonesia. kalo di negara lain, uang2 kayak gitu udah ga berlaku lagi harus bener2 masih mulus. :(

Armae mengatakan... [Reply Comment]

kadang emang sering ngerasa nggak enak ya mbak kalo jadi penyebab antrian panjang.
untungnya teller bank nya gak pernah protes juga, dan selalu menunjukkan wajah sumringah :)
moga rejekinya makin dilancarkan mbak :)

Unknown mengatakan... [Reply Comment]

seandainya itu kertas biasa, tiada sudi orang mempedulikan kertas-kertas lusuh nan kucel itu.. Nice post Mb!

ketty husnia mengatakan... [Reply Comment]

jadi inget, betapa aku suka asal kalo naruh uang di dompet. beda banget sama suai yg rapihh pisan :)

RZ Hakim mengatakan... [Reply Comment]

Saya juga bersahabat dengan uang uang yang seperti itu Mbak..

Posting Komentar

[[ Form mobile comments ]]