Membaca postingan Obrolan Blogger (Mas Satrio) tentang
sebuah keterpaksaan di dalam pernikahan yang baru terungkap setelah sekian lama
hidup dalam satu bahtera yang dinamakan rumah tangga. Disusul dengan postingan
Sukadi dot net (Mas Sukadi) yang
menanggapi postingan dari Obrolan Blogger tersebut.
Berangkat dari sana, aku jadi ingin sedikit berbagi
tentang sebuah keterpaksaan di dalam sebuah rumah tangga. Semoga apa yang saya
share ini dapat menambah sebuah pengertian dan kebijaksanaan dalam menjalani
kehidupan fana yang waktunya hanya sepeminuman teh ini.
***
JIKA CINTA BISA DIPAKSAKAN, PERNIKAHAN APAKAH NAMANYA?
Mulo bukane. Awal mulanya. Ada rasa ketertarikan pada
lawan jenis yang membawa pada sebuah hubungan yang disebut pacaran. Namun
sayang, keduanya; Agus dan Tari, dengan berbagai kesempatan dan suasana yang
ada, pacaran pun akhirnya menjadi sebuah ritual yang memaparkan aura
kebablasan. Agus telah menodai Tari yang dipacarinya itu. Atas dasar suka sama
suka hal itu terjadi. Namun cinta Agus tak menetap pada satu hati milik Tari
saja. Meski Tari sudah mengorbankan segalanya, juga materi yang dimilikinya,
namun semua itu tidak membuat hati Agus terikat pada pengorbanannya.
Teror
Tari sudah mulai gelisah dengan kisah cintanya.
Kesabarannya sepertinya telah habis. Menguap dibawa sang hawa yang bernama
nafsu. Pikirannya tak jernih lagi. Ia mulai meneror keluarga Agus. Setiap saat
Tari menelepon menanyakan kapan Agus menikahi dirinya untuk
mempertanggungjawabkan perbuatan atas dirinya, atas selaput daranya. Seolah
Tari ingin bilang, “Balikin dong selaput daraku!” Jika Agus tidak mau
menikahinya, maka ia akan bunuh diri. Belum lagi ke teman-teman Agus, ia selalu
meneror dengan cara menelepon satu persatu teman Agus. Agus berang. Tapi Tari tetap
saja meneror Agus, kepada keluarganya, juga kepada teman-temannya. Agus makin
membenci Tari. Semakin tak mau menjadi suami bagi Tari. Agus makin sibuk dengan
dirinya sendiri.
Mencoba Bermusyawarah
Setelah teror yang dilancarkan Tari untuk kesekian
kalinya, yang entah sudah berapa kali, tak bisa terhitung lagi. Maka terbentuklah
pansus. Halah opo kuwi pansus – pinjem istilah SBY ketika ada permasalahan
negara – untuk bermusyawarah
menyelesaikan permasalahan ini secara kekeluargaan. Maka, datanglah keluarga
dari pihak Tari. Semua keluarga Tari, termasuk adik, kakak, sepupu, nenek,
kakek beserta buyut-buyutnya, berkenan meluangkan waktu mereka untuk menghadiri
acara musyawarah ini. Semacam bedol desa kali ya. Namun, hingga puluhan kali
musyawarah, puluhan kali pula tak menemukan titik akhir yang melegakan di kedua
belah pihak. Agus tetap tak mau bertanggung jawab, dengan menikahi Tari yang
belum hamil itu. Masing-masing orang tua mereka sudah tak bisa menanganinya.
Mereka sama-sama kisruh. Tari keukeuh ingin menikah dengan Agus. Tetapi Agus
keukeuh tak ingin menikahi Tari. Saling berlawanan kan? Piyejal...? Kalo
istilah bahasa sundanya mah pakeukeuh-keukeuh – bisa bacanya kan? :D Mereka saling
bersikeras sesuai egonya masing-masing.
Akhirnya Penghulu itu Didatangkan
Juga
Malam itu, bedol desa kembali berulang untuk kesekian
kalinya. Namun, kini jumlah personelnya lebih banyak daripada hari-hari
kemarin. Banyak sekali motor yang diparkir di pekarangan rumah Agus. Belum lagi
motor-motor yang diparkir di sekitar tetangga Agus. Sepertinya malam ini
menjadi sebuah acara penting bagi keluarga Tari. Mereka akan menciptakan
sejarah baru dengan membawa seorang penghulu, sesepuh di lingkungan keluarga
Tari, dan tak ketinggalan seorang penasihat perkawinan yang juga seorang dosen.
Layaknya sebuah rangkaian acara, maka saat inilah
puncak dari acara tersebut. Bahwa akan dilangsungkan sebuah pernikahan yang
sangat super sederhana. Keluarga Agus bukan keluarga terpandang, tak ada yang
mempunyai gelar akademik seperti dari pihak Tari. Standard saja. Dari pihak
Agus sudah hadir sepupu dan para
keponakan dari orang tua Agus. Sedangkan paman Agus yang akan bertindak sebagai
wakil orang tua Agus – yang sudah tak bisa berbicara apapun karena shock dengan
bedol desa habis-habisan ini – sudah
duduk bersila.
Setelah berbasa basi sejenak, maka tibalah acara
puncak itu. Diawali dengan pernyataan yang sekaligus pertanyaan disampaikan
oleh paman Agus.
“Seperti yang telah kita ketahui, bahwa pernikahan
tidak akan sah, jika salah satu dari
mereka ada yang tidak bersedia. Sementara, kita telah mengetahui bahwa Agus tidak
mau menikahi Neng Tari. Sekarang, saya ingin bertanya kepada Bapak Penghulu dan
kepada hadirin sekalian. Apakah mungkin perkawinan ini tetap akan dilaksanakan?
Atau mungkin hanya status yang akan
dikejar oleh Neng Tari?” Ujar paman Agus dengan santun dan senyum yang
tersungging. Maka pihak Tari menjawab
diwakili oleh bibi Tari, “Iya, betul pak. Sejujurnya, kami ingin menikahkan
Tari karena status, agar dia mempunyai status yang jelas,”
“Baiklah, jika demikian saya sebagai wakil dari pihak
Agus ingin mengajukan syarat sehubungan dengan apa yang telah dikatakan oleh
ibu yakni perkawinan atas dasar mengejar status. Jika Neng Tari tidak keberatan
dengan persyaratan ini, maka perkawinan akan dilangsungkan. Maukah Neng Tari
menikah dengan Agus, tapi setelah ijab kabul ini, ia tidak tinggal serumah
dengan Neng Tari dan tidak memberikan nafkah lahir dan batin?” Tanya paman Agus
dengan tegas.
Tari yang ditanya demikian hanya bisa mengangguk. Mau
bagaimana lagi, ia memang ingin mengejar
status itu. Cinta yang terlalu kuat memang tersembunyi dibalik keinginannya
memiliki status menjadi isteri dari seorang Agus. Menjadi Nyonya Agus. Ia mencintai Agus melebihi cintanya pada dirinya
sendiri.
“Ya... dengan demikian, bapak ibu sekalian telah
menjadi saksi dari kesepakatan ini. Jangan salahkan Agus jika kelak ia mengajukan perceraian. Kita
telah berusaha melakukan yang terbaik untuk Neng Tari dan Agus. Tak lama lagi
Agus dan Neng Tari akan merasakan udara berumah tangga. Seandainya mereka bisa
langgeng, ya alhamdulillah. Tetapi, kita tidak bisa mencegah jika kelak terjadi
perceraian seperti yang sudah saya bilang tadi. Silakan Pak Penghulu, bisa
dimulai....”
Maka upacara pernikahan itu berlangsung khidmat dan
sederhana. Tak ada tumpeng. Tak ada malam midodareni. Tak ada acara walimahan. Tak
ada makan-makan, karena acara ini adalah acara dadakan. Dan sesuai dengan
permintaan Agus, maka upacara pernikahan ini tidak ada foto. Tak ada kenangan.
Tidak ada manis-manisnya. Tidak ada senyuman di antara kedua mempelai. Dan ketika ada salah satu pihak Tari yang bandel ingin
memotret upacara itu. Namun paman Agus melarangnya, karena tidak adanya acara pemotretan
termasuk syarat agar ijab kabul ini bisa dilangsungkan.
***
Itulah sekelumit kisah dua anak manusia. Keterpaksaan
yang membuat tidak nyamannya kehidupan. Satu sisi ada yang merasa terkabulkan
keinginannya dengan keterpaksaan itu. Tetapi di sisi lainnya keterpaksaan
selalu merugikan hal yang paling esensial dalam hidup. Cinta! Jangan
menyalahkan cinta. Ia tak bersalah. Sekali lagi, ia tidak bersalah!
6 komentar:
ini cerita aslinya ya mba?
yg di blog Kang Sukadi kayaknya beda.
sekarang mau menyalahkan siapa? cinta?
Jangan menyalahkan cinta => setuju mba :)
katanya cinta bisa timbul dari kebersamaan.. mungkin konsep ini masih dipakai pada sistem2 penjodohan.. :D
hhm.....
apapun kalo dipaksakan pasti hasilnya gak mengenakkan ya Mbak...
entahlah..kenapa saya malah tidak menemukan apa yang gue anggap "cinta" dalam potongan cerita diatas. Yang ada cuma "Pernikahan" dalam pengertian bahasa, bukan dalam pengertian makna. Dan cinta yang saya maksud disini adalah seperti cinta saya dengan motor butut gue. Udah ngabisin duit buat maintenance, larinya lebih cepet dikit dari keong tapi saya tetap cinta. Gue dah bener2 berkorban buat motor butut itu dan gue tetap senang melakukannya..Happy blogging!
ini cerita asli?
saya gak berani komen nih. cuma bisa berharap kita semua dapat yang terbaik..
Dari cerita diatas, saya kurang tahu dimana letak keterpaksaan dalam konteks rasa cinta, karena menurut saya apa yang dilakukan Tari tak lebih dari "kebodohan" semata, bukan atas dasar cinta.. hehe..
Posting Komentar