Thanks for this day.. May God bless us everyone and everywhere..
Diberdayakan oleh Blogger.

Senin, 16 Desember 2013

"Beri Aku Jalan!"



Menembus jalan di kotaku, pada suatu ketika (mulai mendongeng –  karena aku lupa hari apa waktu itu). Terdengar suara sirene dari arah belakang. Suaranya memekakkan telinga. Spontan, kepala langsung menengok ke belakang. Ternyata suara sirene itu berasal dari satu ambulance jenazah, dikawal motor patroli polisi mengebut menyeruak kendaraan-kendaraan lainnya. Pikiranku langsung berputar-putar seperti seorang anak kecil sedang mengherankan apa yang baru saja dilihatnya.

“Mengapa ambulance pengangkut jenazah itu harus terburu-buru pergi ke pemakaman?” Demikian pikiran heranku. Ya, mengapa harus terburu-buru sampai lampu merah pun diterabas, mengebut sehingga kendaraan-kendaraan lain harus menepi. Siapa pun orang di dalam peti mati itu, entah pejabat atau orang awam, atau apa pun strata orang itu, bukankah sebaiknya wajar-wajar saja saat mengantarkan ke tempat terakhirnya, toh pemakaman tidak akan lari, dia tetap tinggal di sana. Lokasinya tidak tiba-tiba pindah sehingga harus tergesa-gesa mengikuti laju pindahnya pemakaman itu.

Menurut pemikiranku sebagai orang awam rakyat jelata ini, kendaraan yang menjalankan dirinya dengan mengebut terburu-buru itu seolah ingin berteriak sekencang-kencangnya: “BERI AKU JALAN!” adalah kendaraan pemadam kebakaran, ambulance pembawa korban kecelakaan atau orang sakit yang memang memerlukan Instalasi Gawat Darurat. Bagaimana bisa membedakannya? Anggap saja ambulance lewat itu baru akan menjemput orang ketika butuh Instalasi Gawat Darurat. Namun bukan ambulance bertuliskan Ambulance Jenazah (Kereta Jenazah).

*Melihat lewat layar kaca, seorang Nelson Mandela saja, mobil jenazahnya dijalankan perlahan dan penuh etika.

Selasa, 26 Maret 2013

Saujana

Dengarlah irama saujana
Mengalun tak pernah letih
Senandungnya meretas kelam malam
Menempuh ribuan kilo meter
Pedih, saat terasa harapan hanya tersimpan pada saujana
Tanpa pernah mengerti asa kan bertemu tubuh dan jiwa

Saujana
Aku larut dalam secercah cahaya
Yang terpendar melewati lautan 
Merekah menerpa wajah
Angin kan membawaku ke sana

Bait-bait rinduku ada di atas pucuk-pucuk cemara
Di peneduh jalan ini langkahku terhenti
Mendongak langit yang segera mencurahkan airnya
Pada bumi gersang yang letih

Kamis, 21 Februari 2013

Saat Gelap di Sememi



 Sememi dalam siang

Sememi pada suatu malam. Saat seorang teman harus pergi ke sebuah daerah yang bernama Sememi. Malam itu sekitar pukul 11. Jalanan terlalu sepi dan gelap untuk dilewati. Namun apa mau dikata. Seorang teman itu, sebut saja Mas Daniel, harus pergi ke rumah yang berada di satu perumahan di daerah itu untuk suatu keperluan. Bagi yang tinggal di Surabaya, mungkin pernah mendengar nama daerah ini. Sememi, yang masuk di wilayah Surabaya Barat.

Kisah Sememi yang hampir merenggut nyawa Mas Daniel. Kebetulan, rumah yang hendak ditujunya itu melewati jalur rel kereta api. Dalam keadaan gelap gulita - jika pun ada lampu menyala - ia hanya melihat sinar yang remang-remang saja di seberang jalan di mana ia berada saat itu. Karena perlintasan kereta api itu tidak ada  palang pintunya, maka ia mencari seorang kakek yang selalu setia setiap saat berada di sekitar perlintasan kereta api itu. Entah kakek itu ada yang menggaji atau ia bekerja dengan suka rela, tidak ada yang mengetahuinya. Namun Mas Daniel selalu memberi sedikit rejekinya untuk Sang Kakek penjaga perlintasan kereta api,  setiap ia lewat di perlintasan itu. Sekian lama ia mengedarkan pandangannya ke arah kakek itu biasanya berada, tapi ia tidak menemukan kakek berhati mulia itu.

Laju mobil ia jalankan dengan lambat. Lajunya sekitar 5 – 10 Km per jam. Matanya masih mencari sosok kakek penjaga pintu perlintasan itu. Setelah ia yakin bahwa kakek itu tidak ada, maka ia terus melanjutkan perjalanannya untuk menyeberangi lintasan kereta api itu. Namun, alangkah terkejutnya saat ia melihat satu sinar yang semakin lama semakin terang, sementara mobilnya sudah berdiri sekitar 1 meter dari rel kereta api. Ia tentu saja sangat panik. Mau mundur sudah susah. Mau dilanjut untuk maju, juga berisiko jika berhenti di tengah rel kereta api, karena sudah tidak ada ancang-ancang lagi untuk tancap gas. Dengan doa-doa di hatinya, ia pasrahkan jiwa dan raganya hanya kepadaNya.  Kemudian dengan reflek, ia tancap gas. Sambil tancap gas dan berdoa dalam sekejap supaya Tuhan meluputkannya dari maut. Apa yang terjadi kemudian? Ternyata  mobil yang ia kendarai meloncat bagai kodok yang melompat dari satu teratai ke teratai lainnya. Meloncat sekencang-kencangnya! Dan, sesaat mobil yang ia kendarai meloncat sampai di seberang, hanya sepersekian detik saja, kereta api barang meluncur deras di belakangnya. Alangkah bersyukurnya Mas Daniel. Ia tak henti-hentinya mengucap syukur kepadaNya, Sang Pelindung kehidupannya. Apa jadinya jika mobil yang meloncat itu tidak sampai di seberang, dan setengah badan mobil itu ada di atas rel kereta api? Pastinya, pulang hanya tinggal puing-puing yang tersisa.

Masih dalam kegelapan Sememi, ia mencoba meneruskan perjalanannya ke rumah yang hendak ditujunya dengan perasaan yang tak menentu. Jantungnya berdebar hebat, disertai kaki kanannya yang langsung kesemutan, dan kekagetan yang luar biasa kaget itu membuat lututnya lemah. Tuhan masih menolongnya dalam kegelapan dan sepinya jalanan itu. Akal sehatnya masih bisa digunakannya dengan baik, meski raganya terasa rapuh. Ia terus saja bersyukur atas kelimpahan kasihNya yang tiada terhingga itu. Pasca kejadian ini, seorang Mas Daniel menjadi semakin menyadari betapa ia disayangi dan dilindungi olehNya. Bagaimana caraNya melindungi sungguh terasa, meskipun sampai kini ia masih bergidik jika harus melewati jalanan di daerah Sememi.

Himbauan kepada para pengguna jalan, khususnya yang harus melintasi daerah Sememi, harap berhati-hati. Karena selain tidak ada palang pintu di perlintasan itu, tumpukan bantalan untuk rel kereta api itu disusun sangat tinggi, sehingga dari jarak dekat pun, tidak akan bisa melihat kereta yang akan lewat. Jika dilihat dari suasananya, daerah ini memang sepi sekali seperti tidak ada kehidupan, meskipun pada  siang hari.

Mengapa perlintasan kereta seperti ini tidak ada palang pintunya? Apakah karena bukan stasiun besar? Apakah harus menunggu ada korban terlebih dahulu untuk memerbaiki sesuatu yang menyangkut nyawa manusia? Mungkin, kondisi seperti ini tidak hanya ada di Sememi saja. Bisa jadi, di setiap daerah dipastikan ada. Apa buruknya, setiap jalanan yang harus bertemu dengan kereta api diberi palang pintunya? Apa harus dipasang plang begini : SEMEMI = Seram-seram Medeni? (seram-seram menakutkan – red.)
Dan jika sudah dipasang palang pintu dan penerangan yang wajar, plang itu bertuliskan : SEMEMI = Senyum-senyum Bersemi (lebih sumringah kan).


Selasa, 19 Februari 2013

Perkara Hujan

Pagi,
Hujan kian berlabuh renyah
Tatkala sepotong hati merasakan sayap-sayapnya patah
Ketika asa ditelan langit, dan menumpahkannya dalam hujan

Air yang menitik perlahan...
Membasahi tubuh dan jiwa
Pelan-pelan namun pasti, telah membuat kuyup
Rindu ini, bergelombang

Tenggelam dalam haribaannya bumi
Dalam perkara hujan yang tak pernah usai
Dalam lintas peristiwa yang tak pernah mati
Namun, semua ini tiada abadi



Bandungku hujanku, 19.02.2013