Pagi ini suasana sudah agak ramai, saat Raga tiba di kampusnya. Waktu menunjukkan pukul 7.30 dan Raga langsung melangkahkan kakinya ke aula. Hari ini ia hendak mengikuti Seminar Anti Korupsi yang diselenggarakan oleh kampusnya bekerja sama dengan BAPENAS. Sebagai seorang mahasiswa Administrasi Publik ia sepertinya punya kewajiban untuk mengikutinya, selain karena ia juga aktif di dalam organisasi kampus, termasuk Mapala, ia juga ingin mempunyai wawasan tentang bagaimana mencegah korupsi di sebuah instansi.
Seminar dimulai sekitar setengah jam lagi. Tapi bukan Raga namanya, jika ia terlambat. Raga selalu tepat waktu dalam hal apapun juga. Dengan balutan kemeja warna biru bergaris tipis dan celana pantalon hitam tampak serasi dengan perawakannya yang tinggi. Terlihat ia melangkah memilih tempat duduk. Sudah ada beberapa orang di kelas itu yang ternyata peserta seminar yang berasal dari luar kota. Ia menganggukkan kepala ke arah mereka, dan tanpa basa basi, iapun duduk di kursi barisan depan.
Tak berapa lama, datang seorang wanita dengan menggunakan baju motif bunga cerah dipadu dengan blazer hitam, berkulit putih dan tampak cantik. Ia nampak elegan dengan apa yang dikenakannya. Sederhana namun memikat bagi siapa saja yang melihatnya. Tak terkecuali Raga, yang saat itu memang harus menatapnya saat wanita itu berjalan ke arah tempat duduk Raga dan menyapanya. Raga terkenal dingin di kampusnya. Banyak wanita yang menyukainya, namun mereka hanya dianggap teman saja oleh Raga. Raga memang seorang yang sukar untuk jatuh cinta, dan tak terbiasa untuk mengungkapkan isi hatinya. Ia lebih mencintai alam dan gunung-gunung yang pernah dijejaki puncaknya.
Raga yang saat itu sedang melihat-lihat makalah yang tadi dibawanya saat pendaftaran ulang, dikejutkan dengan kehadiran wanita itu.
“Di sini kosong, mas?” Tanya wanita itu sambil tersenyum.
“Eh, iya mba… Silakan,” Jawab Raga sambil membenahi tasnya yang ada di kursi sebelahnya yang hendak diduduki wanita itu. Raga lalu bertanya asal instansi pada wanita itu, dan ternyata sama-sama masih kuliah di kampus yang sama. Raga semester 6 sedangkan wanita itu baru menginjak semester 4. Mereka memang belum pernah saling bertemu.
Tak ada pembicaraan di antara mereka. Mereka sepertinya malas untuk saling bicara, bahkan untuk memperkenalkan diri merekapun sepertinya enggan. Masing-masing menyibukkan diri dengan makalah yang telah mereka pegang.
Tanpa terasa, para peserta sudah mulai memenuhi ruang kelas. Lima menit lagi acara dimulai dan tepat saat itu, seorang panitia menyodorkan formulir data diri pada para peserta untuk mengisi biodata dengan lengkap. Saat itulah, Raga tahu jika wanita di sebelahnya itu bernama Embun Amora Bethari, dan Embun mengetahui lelaki di sebelahnya ini bernama Raga Wibowo. Secara diam-diam, mereka tahu nama orang yang ada di sebelahnya ini saat formulir itu harus dikumpulkan.
Pembawa acara seminar segera menuju ke podium dan membacakan susunan acara seminar. “Tumben, pas banget dengan jadual, biasanya ngaret,” Batin Raga.
Setiap materi yang ada di seminar ini sangat menggugah hati Raga. Ia menyimak dengan penuh perhatian, mulai dari peraturan-pearturan tentang anti korupsi, penyamaan persepsi, sampai antisipasi korupsi menurut bidangnya maing-masing yang harus disesuaikan dengan kebutuhan atau isu yang akan disampaikan. Intinya bahwa anti korupsi bisa dijalankan dengan melihat mekanisme yang ada di dalam sebuah instansi dalam bidangnya masing-masing, dengan melihat titik-titik peluang yang bisa mendukung terjadinya tindak korupsi.
Tak jarang pula Raga mengikuti materinya sambil sesekali tertawa lepas jika ada pembicara yang menyampaikan topiknya dengan menyelipkan humor segar. Embun pun demikian. Ia tak segan untuk tertawa terbahak seolah tanpa beban, tanpa mempedulikan orang-orang di sebelahnya, sambil sesekali mencuri pandang ke arah Raga. Raga yang tak sadar bahwa sesekali diperhatikan oleh Embun, diam-diam di lubuk hati Raga juga telah menyimpan kekaguman tersendiri untuk seorang wanita yang belum dikenalnya ini. Di sepanjang usia Raga, baru kali ini ia merasa aneh dengan perasaannya sendiri. Wanita ini sebenarnya tidaklah cantik, biasa saja. Ia hanya tampak cantik. Namun harus diakui Raga bahwa wanita di sebelahnya ini menarik. Ia seperti melihat kebebasan yang tidak pernah ditemukan pada wanita-wanita yang pernah dikenalnya, yang menyukai dan mengejar-ngejar Raga. Wanita ini terlihat cerdas dan tegas, namun ada sisi kelembutan yang berpadu dengan keluwesan, dan itu yang membuat Raga menjadi penasaran dengan gadis yang baru saja dilihatnya.
Seminar anti korupsi ini telah memberi kesan tersendiri, setidaknya untuk segenap perasaannya. Tidak untuk hasil dari seminar yang diikutinya. Ia masih pesimis dengan berbagai penyelenggaraan seminar anti korupsi yang sudah lumayan sering digelar di banyak instansi. Menurutnya upaya ini akan berhenti hanya sampai di batas seminar saja, tanpa ada hasil nyata yang diperoleh setelah mengikutinya. Seperti halnya seminar-seminar yang diselenggarakan oleh pustakawan di dalam memperbaiki citranya yang tengah mengalami degradasi. Dari dulu selalu itu dan itu saja yang dibahas, dan belum mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Itu pendapat Raga. Tetapi jika sudah ada seminar ini, harapannya adalah timbul rasa sayang terhadap instansinya, dan benar-benar menjaga titik-titik peluang yang bisa mendukung terjadinya korupsi di sebuah instansi.
***
Raga masih belum habis pikir dengan apa yang tengah dirasakannya. Entah mengapa ia begitu senang saat melihat beberapa foto yang tersimpan di buku agenda milik Embun yang tadi ketinggalan di samping bangkunya. Dilihatnya satu persatu foto yang tersimpan rapi di buku agenda itu. Terdapat foto-foto Embun sedang beraktivitas di alam bebas, dan yang membuat Raga tertarik adalah banyaknya foto dan artikel tentang Gunung Lawu. Raga begitu menikmati buku agenda milik Embun. Dan Raga menyadari bahwa ia harus segera mengembalikan buku agenda tersebut.
Raga menghubungi nomor telepon Embun yang tertera di buku itu. Lalu mereka berjanji untuk bertemu keesokan harinya di kantin kampus. Tak ada perbincangan serius. Embun terburu-buru karena akan mengajar di sekolah. Selain kuliah, Embun ternyata juga menjadi pengajar di sebuah sekolah darurat yang ia bangun bersama teman-teman kampusnya. Hanya ucapan terima kasih yang diterima oleh Raga. Namun entah kenapa Raga menemukan perasaan aneh dalam dirinya saat melihat Embun, sang kolektor artikel dan gambar Gunung Lawu.
Ditatapnya dari belakang tubuh Embun yang berguncang karena berjalan dengan tergesa-gesa, hingga menghilang dalam kerumunan para mahasiswa.
Apakah kamu begitu menyukai Gunung Lawu? Lalu apa yang membuatmu merasa demikian? Bisik Raga dalam hati. Seketika itu Raga merasa kembali pada masa kecilnya.
“Pa, ajak Raga ke sana.” Ujar Raga pada papanya sambil menunjuk Puncak Lawu.
“Raga pengen kayak papa, kayak foto papa yang ada di ruang tamu”, Kata Raga mantap. Saat itu papanya tersenyum dan mengatakan, “Pergilah ke sana nak, dakilah gunung itu dengan kakimu sendiri. Raih puncaknya seperti kelak kamu akan meraih cita-citamu.”
Di hatinya, Raga bertekad bila sudah besar nanti ia akan menapakkan kakinya di Puncak Lawu, juga puncak-puncak gunung lainnya.
Raga membuktikannya. Beberapa gunung telah ia taklukkan. Puncak Lawu adalah puncak pertama yang ia daki. Salah satu mimpi kanak-kanaknya menjadi nyata. Dan saat ini, Raga digiring kembali dalam kenangan terutama saat ia bersama dengan almarhum ayahnya. Semua karena Embun. Ya, karena wanita sederhana itu.
Beberapa hari ini Raga selalu terbayang-bayangi sosok Embun. Ia tak yakin dengan perasaannya. Entahlah, Raga bingung. Tanpa disadarinya pula, ia sering berjalan melewati kelas Embun. Keinginannya cuma satu, ingin melihat Embun. Hanya itu.
Apakah Raga akan terus menjadi pengagum rahasia Embun atau ia mulai memberanikan diri untuk mendekati sosok yang membuatnya selalu teringat akan mimpi masa kecilnya itu?