Terbangun aku di sebuah sudutnya pagi ini. Pagi masih pekat dan prematur. Ayam-ayam pun masih rabun untuk menyatakan bahwa ini adalah pagi.
Aku mendapatimu terduduk lunglai di suatu sudut pula. Entah sudut mana kau terduduk. Aku coba memicingkan mata demi melihatmu, melihat hatimu dan menciumnya dengan hormat. Aku tak dapat memejamkan mataku kembali. Pikiranku melayang padamu. Terus dan terus. Apalagi setelah aku lihat gerimis turun dengan perlahan dan lembut. Aku semakin salah tingkah dan aku putuskan untuk mengambil pena ini.
Inilah pena hatiku untukmu, yang kemudian aku sebut sebagai cinta.....
Sayang, adakah nelayan yang memberanikan diri untuk terus melaut, sementara gelombang samudera itu; yang dia sebut sebagai tempat bermain sekaligus tempat menggantungkan harapan telah demikian bergejolak, berhamburan, dan tak memberikan arah angin yang jelas baginya untuk beberapa waktu lamanya? Bahkan nelayan itu tak pernah tahu, sampai kapan akhir dari gejolak laut itu. Ia tak percaya lagi pada cuaca yang mengiringi tempat pengharapannya itu. Ia, bahkan sudah lupa bagaimana caranya untuk kembali memercayai laut sebagai sumber nafkah baginya. Sumber kehidupan dan penghidupan baginya.
Koin itu kembali gemerincing dengan kuat. Sangat kuat. Untuk ke sekian kalinya, dua sisi yang dimilikinya itu ingin diakui keberadaannya. Jika diteruskan untuk melaut, maka nyawa taruhannya. Tetapi jika tidak melaut, ia akan mati.
Manakah yang kau pilih jika kau menjadi seorang nelayan?
Pulang kembali ke rumah.
Menikmati sajian seadanya; sesederhana langit saat pagi dan petang. Menikmati cahaya rembulan, adalah hal yang sangat istimewa. Karena cahaya rembulan itu adalah hatinya yang teduh dan biru, yang sempat terlupakan. Namun cahaya itulah yang kan mengantarmu pada cahaya yang sesungguhnya; matahari.
Jika kemarin, kau adalah rembulan; meminjam cahaya dari matahari, kini jadilah kau matahari sejati bagi dirimu sendiri. Pendarkanlah sinarmu sendiri. Tak lama lagi, akan ada yang membutuhkan sinarmu itu!
Pulang kembali ke rumah.
Kemudian memikirkan untuk pindah dari Kampung Nelayan itu, untuk mencari penghidupan lain yang tak akan pernah lagi memangkas kepercayaanmu, seperti pada laut yang pernah kau selami selama sekian waktu namun tak urung memberi badai juga...
Percayalah, seiring doa dan ketabahanmu, tak lama lagi, tangan yang terentang dan siap memelukmu akan terlihat dari jauh. Meski masih samar, ia hanya akan ada buatmu menjadi nyata. Cuma buatmu!
*Namun begitu, pilihan ada padamu. Aku tak berkuasa apa-apa. Move on or go ahead. Tetap menjadi nelayan, atau menjadi sesuatu yang baru dan mandiri. Pulang kembali ke rumah meski kau tahu bakal tersesat tapi pasti sampai di rumahmu atau kau tetap berdiam di sana, hidup dengan sakit dan perih yang sama.
Mohon maaf, jika pena hati ini tak berkenan bagimu. Sayang, Tersenyumlah untukku :)
Sebuah Puisi di Hari Ibu
12 jam yang lalu
2 komentar:
nice.. salam kenal ^^
hiks,..hiks,..kisah sedih di suatu pagi,..teruskan penamu mbak,..agar tinta cinta itu terus tergores di kertas abadi...!!! nice post
Posting Komentar