Benarkah cinta mengenal embargo? Mari kita telusuri jejaknya yuk...
Saat pertama kali Lidya bertemu Anton di sebuah pesta pernikahan itu, seketika pesona Anton menyelubungi hati Lidya. Jabat tangan dan sapa ramah dari Anton menjadi sebuah debar tersendiri bagi Lidya.
Di sepanjang jalan terngiang-ngiang sapaan ramah Anton. Senyum Anton sungguh super aduhai bagi Lidya. Rahang Anton demikian kukuh, selalu terpantul di mata Lidya. Matanya seperti telaga yang siap menenggelamkan Lidya ke dalam kesejukan tiada tara.
"Damn! Kenapa aku jadi kaya gini ya? Lama-lama aku bisa beneran gila ni kalo kaya gini terus! Masa pohon-pohon aja selalu mantulin wajah dan badan tegapnya si Anton sih? Semuanya jadi kaya dia!" Begitu batin Lidya mengumpat, saat mendapati kesehariannya menjadi berubah.
Perasaan yang begitu kuat terhadap Anton membuatnya begitu menderita. Maklum saja, Lidya ini baru pertama kali ketanggor cinta. Biasanya pesona dialah yang menyelimuti hati para cowok. Sekarang, giliran dia yang merasakan sendiri bagaimana kalang kabutnya saat cinta benar-benar 'menyetrum' seluruh inderanya.
"Rani, boleh ga aku minta nomor hp nya si Anton?" Tanya Lidya saat bertemu Rani, setelah berbasa basi menanyakan kabar Rani yang kebetulan berteman juga dengan Anton.
"Haaahh? Ga salah denger ni aku? Tumben-tumbenan kamu minta nomor hp cowok? Biasanya kamu anti pati nyari tau tentang cowok dan kamu selalu wanti-wanti sama aku, supaya aku ga ngasih nomor hp-mu sama cowok-cowok itu!"
"Kamu mau ngasih ga? Kalo ga mau ngasih ya udah. Aku ga maksa koq" Timpal Lidya kesal.
"Cieeee sekarang mulai pake acara ngambek pula... Bukannya jawab pertanyaan, malah misuh-misuh" Ujar Rani setengah menggerutu sambil mencari nomor kontak Anton di phone booknya.
***
Lidya keblinger. Lidya mabuk! Berbagai upaya terus dilakukan agar ia bisa mendapatkan Anton. Namun di luar dugaan Lidya, Anton terlalu dingin baginya. Ia terlalu angkuh untuk menerima cinta yang dibawa Lidya.
Ekspor impor cinta antara Lidya - Anton tak berjalan mulus. Namun, cinta itu memang telah membuat Lidya gila. Lidya terus saja mengekspor cinta buat Anton meski Anton tidak mengimpor cinta Lidya ke hatinya. Anton semata hanya ingin berkawan dengan Lidya.
Lidya telah lupa harga dirinya, yang dulu sangat diagung-agungkannya. Dengan mengemis nomor telepon pada Rani saja, ini sudah merupakan awal dari jatuhnya seorang Lidya. Dia seorang kembang cantik yang selalu dikejar-kejar cowok.
Cinta telah meluruhkan kesombongan Lidya selama ini. Mungkinkah ini karma bagi Lidya? Lidya ga peduli. Ia hanya ingin selalu menyimpan cintanya untuk seorang Anton. Perlahan tapi pasti, Lidya telah sadar dari gilanya. Waktu telah mengajarkan sesuatu baginya. Lidya mundur dengan elegan. Sekarang ia tidak lagi mengekspor cinta buat Anton melalui perhatian, kasih sayang, dan kehadirannya yang (mungkin) tidak Anton butuhkan darinya. Namun ia tetap menyertakan nama Anton dalam setiap doanya.
***
Cinta memang bukan ekspor impor. Ia terlalu agung untuk disamakan dengan dunia dagang. Cinta adalah ketulusan murni yang memantulkan kesediaan hati tanpa paksaan.
Kini jelas, bahwa cinta tak mengenal embargo. Setidaknya buat Lidya, dan aku pun menyetujuinya.
Lewat cinta ada doa untuknya. Sekecil apa pun esensinya, tetaplah ia disebut cinta.
1 komentar:
eh, cinta kan gak bisa disamaain sama barang.. mana bisa diembargo.. :D
Posting Komentar