Negeriku tersayang, dengan berjuta kebudayaan dan kandungan alam yang kaya dan padat. Kemajemukannya menandakan sebuah harmoni terindah dibandingkan dengan negara-negara lain yang ada di dunia ini. Sebuah semarak keindahan dari negeriku yang khas dapat dengan mudah dilihat dari manapun.
Bercengkrama di pelataran jiwa Ibu Pertiwi yang rindang, teduh dengan tingkat kenyamanan yang tinggi, penuh kesantunan, dengan tutur kata yang indah; bukan hanya sekedar tutur kata biasa, tapi boleh jadi mereka merupakan bait-bait doa dan harapan yang terindah bagi seluruh anak cucu di negeri ini. Mampu mengobarkan semangat hidup meski harus dihadapi dengan ketabahan, kesabaran, dan penderitaan dengan peluh dan air mata yang menggenang berubah menjadi sebuah telaga bening yang menyejukkan, bukan hanya bagi mata kita, tetapi bagi seutuhnya jiwa dan raga kita... Mereka, bahkan tak pernah ragu untuk berkorban menumpahkan darahnya untuk membasahi bumi ini.
Dengan unggah ungguh bahasa yang memikat siapa saja yang lewat, menatap, dan mengunjunginya, bahkan bagi siapapun yang tinggal di dalamnya. Pesonanya membuat negeriku ini bagai sebuah tempat yang sakral namun tetap menjaga keramahan, tanpa menjatuhkan harga dirinya. Bahkan dia disinyalir sebagai Benua Atlantis yang hilang itu.
Kedamaian dan suasana alamnya yang indah, dengan buah yang melimpah pada tiap musimnya. Bunga-bunga beraneka warna dengan keharuman tiada tara, mengantarkan setiap kedip mata kita pada keindahan alami yang benar-benar memukau.
Penjaga pantai, penjaga gunung, penjaga hutan, penjaga Indonesia dan makhluk Tuhan lainnya saling menghargai demi keselarasan bumi pertiwi tercinta ini.
Kini, pelataran jiwa Ibu Pertiwiku telah berubah menjadi gersang, tandus, kering kerontang dan panas. Tak ada lagi telaga bening itu...
Kerakusan dirilah yang menggerogotinya. Kepentingan kelompok yang dinomorsatukan dengan atas nama rakyat. Korupsi merajalela dari tingkat paling bawah. Budaya luhur, warisan nenek moyang kita dibabat habis oleh kesadaran yang hanya berbentuk duniawi, harta dan daging semata... Tak lebih dan tak kurang, hanya sebatas itu...
Kejujuran sudah semakin jauh...mungkin malah telah lupa makna dari kejujuran itu sendiri. Kesadisan... bayi disiksa, aborsi yang makin meningkat, pembabatan kayu yang semena-mena, eksplorasi alam yang tidak bertanggung jawab, pembuangan limbah yang menyebabkan pencemaran lingkungan.
Kini, musim-musim yang terlalui tak pernah pasti. Semuanya susah ditebak. Alam murka, menenggelamkan dan menghancurkan apapun yang ada di atasnya. Tak peduli lagi kesakralannya. Tempat-tempat yang dulunya elegan, kini berubah wajah menjadi sebuah tempat yang mengerikan, bahkan dilihat dengan sebelah matapun tak bisa terlihat keindahannya.
Dekadensi moral. Keserakahan dan pesta pora terjadi dimana-mana. Kesenjangan sosial yang teramat sangat, bagai jurang tak bertepi. Penjualan hasil bumi yang berkualitas ke luar negeri, sementara rakyat hanya menikmati sisa-sisa, hanya sampah...!
Semua keadaan ini, menandakan kerakusan tingkat tinggi, dengan sifat duniawi yang sungguh sempurna.
Hati nurani, kejujuran, dan ketulusan sudah jauh menguap entah kemana.
Wajar, jika negeri tercinta ini dijuluki hal-hal yang negatif dengan urutan paling atas. Wajar jika alam tak selaras lagi. Tahun ini, negeri tercintaku hampir dipastikan tak akan ada musim kemarau.
Namun, aku yakin bahwa di balik setiap peristiwa yang ada, pasti ada harapan. Sekecil apapun itu. Meski tak banyak, namun orang-orang yang ada di balik tabir ini senantiasa berdoa dan berjuang semampunya, demi negeri tercintaku ini. Mereka sangat jauh dari semaraknya negeriku...
Mereka sangat sederhana. Bahkan kehadirannya tak bisa terlihat oleh kita, meski mereka kasat mata. Mereka tinggal di pinggiran kota, di pemukiman kumuh, di tempat terpencil, dengan kehidupan yang apa adanya, tetapi mereka tak pernah mengeluh. Mereka mau berkorban bagi sesamanya. Tulus, ikhlas dalam berbagi. Kuantitas mereka tidaklah banyak, namun mereka punya kualitas yang menyentuh langit.
Suatu kualitas prima tidak selalu mewah. Mereka bahkan alergi dengan kemewahan dan derajat yang diagung-agungkan.
Bagaimanapun, kita tinggal di tanah yang sama dalam satu kedaulatan. Usaha dan doa mereka hanya Tuhan yang tahu. Mereka tetap mengibarkan panji-panji warisan leluhur kita; ketulusan, keramahan, rendah hati, keberanian menentang yang jahat, setia pada yang benar, mengayomi dan melindungi setiap makhluk Tuhan pada setiap detiknya.
Mereka tetap pada prinsipnya, apapun dan bagaimanapun kondisi negeri tercintaku ini; cita-citanya ingin mengembalikan negeri tercintaku pada tempat yang semula, yang semestinya. Mengembalikan semarak sejatinya yang telah lama hilang. Mengembalikan seluruh aura positifnya sebagai mercusuarnya dunia...
* haruskah ada istigosah nasional demi kelanggengan negeri tercintaku, dan orang-orang yang berkepentingan dalam hal ini (para sesepuh) berkumpul, mendoakan pula para koruptor dengan doa-doa yang tak lama kemudian membuat para koruptor itu celaka hingga tujuh, bahkan sepuluh turunan?