Bicara soal adrenalin memang asik...banyak tantangan yang terlampaui berkat adrenalin kita yang memuncak.
Seperti kisahku saat aku masih kelas dua sekolah dasar. Hari itu, aku tidak pergi ke sekolah karena sakit. Sakitku disebabkan oleh demam tinggi mulai waktu sore hari hingga malam dan kepala yang pusing.
Besok sorenya, ibuku membawaku ke dokter umum yang berjarak sekitar 700 meter dari rumahku. Dengan berjalan kaki, aku digandeng oleh ibuku. Aku ingat, waktu itu sore cukup cerah, dan aku mengenakan baju anget berwarna merah. Aku lebih familiar dengan sebutan baju anget daripada jacket, karena baju angetku yang bertekstur kaya selimut, yang kainnya agak berbulu.
Ibuku, membawaku ke jalan setapak, biar cepet nyampe, karena jalan itu merupakan jalan pintas menuju ke dokter.
Di tengah perjalanan, aku melihat eng-eng, orang-orang menyebutnya demikian. Dia adalah seorang tuna netra dengan tongkat di tangan sebagai penunjuk jalan baginya. Aku, yang masih kecil, takut jika melihat atau berjumpa dengannya. Dia selalu berteriak-teriak sambil berjalan, yang bagiku suaranya sangat menakutkan pada saat itu. Oleh karenanya, jika aku sudah mendengar teriakannya dari jauh dengan suaranya yang khas, aku langsung lari ke dalam rumah, atau jika ada ibuku, aku langsung sembunyi di balik badan ibuku. Hehehe, kalo dipikir ya, apa yang membuatku takut, sementara dia tidak bisa melihat, dan dia ga tau aku sembunyi atau tidak. Tapi itulah kenyataannya. Aku takut karena teriakannya dan profilnya yang menakutkan bagi windflowers kecil.
Saat aku melihat dia, dan hendak berpapasan dengan eng-eng, aku langsung melepaskan tanganku dari genggaman tangan ibuku, dan aku lari sekenceng-kencengnya... Ibuku tak bisa menahanku, meski beliau sempat bilang padaku bahwa, dia ga akan menggangguku. Karena rasa takut yang mendalam, aku tak menghiraukan nasihat ibuku, dan genggaman tangan ibuku pun aku lepaskan. Tak kuhiraukan teriakan ibuku yang memanggi-manggil namaku. Aku lari lumayan agak jauh, dan masuk ke rumah salah satu warga di gang itu, dengan nafas yang tersengal. Keringatpun bercucuran. Mungkin juga wajahku pucat pasi karena selain rasa takutku, juga karena kondisi badanku yang sedang sakit. Ibuku mencariku ke mana-mana. Beliau agak kehilangan jejakku. Sampai saat ibu menemukanku, beliau berkata kepada pemilik rumah, "punten ibu, ini anak saya udah tiba-tiba masuk ke rumah ibu. Maaf ya bu, mangga...permios." Kata ibuku meminta maaf pada pemilik rumah, karena aku udah sembunyi di rumahnya. Sebetulnya aku ga masuk ke dalem rumahnya sih. Hanya di teras yang tertutup benteng rumahnya. Jadi aku tak terlihat oleh eng-eng. Ibu pemilik rumahpun berkata dengan ramah, "ga apa-apa ibu, namanya juga anak-anak." Kata pemilik rumah, setelah ibuku bercerita sedikit mengapa aku sampai di sini.
Setelah saling bertukar senyum, ibuku langsung menggamit tanganku dan menuntunku. Sambil berjalan pulang, aku bilang sama ibuku bahwa aku ga mau ke dokter, karena kepalaku udah ga pusing lagi, dan suhu tubuhkupun sudah normal kembali. Ibuku menuruti keinginanku, setelah beliau menyentuh kening dan leherku dengan tangannya. Memang, tubuhku saat itu dingin, karena aku berkeringat.
Akhirnya aku benar-benar tak jadi ke dokter, karena aku sudah bisa pergi ke sekolah pada esok harinya. Sebuah ketakutanku yang mampu memicu adrenalinku muncul ke permukaan, sehingga bisa menjadi obat bagi sakitku, mampu menciptakan sebuah anti bodi untuk daya tahan yang alami bagi tubuhku, sehingga dia menjadi segar kembali.
Hingga kini eng-eng masih ada dan masih suka berkeliaran, tetapi dia sudah tidak berteriak-teriak lagi, karena mungkin dia sudah tua. Jika kebetulan dia lewat di depan rumahku, aku jadi ingat peristiwa ini, puluhan tahun yang lalu, dan tentu saja aku sudah tidak takut lagi jika melihatnya. Yang ada jadi pengen ketawa, jika ingat kekonyolanku waktu ku kecil dulu.
Terima kasih eng-eng, karena engkau udah jadi berkat bagi kesembuhanku waktu itu, meski aku harus mengumpulkan adrenalinku terlebih dahulu. Aku tak tau namamu yang sebenarnya, tapi aku yakin, doaku buatmu ga akan tertukar dengan yang lainnya.
Bandungku, nostalgiku...hehehe
Seperti kisahku saat aku masih kelas dua sekolah dasar. Hari itu, aku tidak pergi ke sekolah karena sakit. Sakitku disebabkan oleh demam tinggi mulai waktu sore hari hingga malam dan kepala yang pusing.
Besok sorenya, ibuku membawaku ke dokter umum yang berjarak sekitar 700 meter dari rumahku. Dengan berjalan kaki, aku digandeng oleh ibuku. Aku ingat, waktu itu sore cukup cerah, dan aku mengenakan baju anget berwarna merah. Aku lebih familiar dengan sebutan baju anget daripada jacket, karena baju angetku yang bertekstur kaya selimut, yang kainnya agak berbulu.
Ibuku, membawaku ke jalan setapak, biar cepet nyampe, karena jalan itu merupakan jalan pintas menuju ke dokter.
Di tengah perjalanan, aku melihat eng-eng, orang-orang menyebutnya demikian. Dia adalah seorang tuna netra dengan tongkat di tangan sebagai penunjuk jalan baginya. Aku, yang masih kecil, takut jika melihat atau berjumpa dengannya. Dia selalu berteriak-teriak sambil berjalan, yang bagiku suaranya sangat menakutkan pada saat itu. Oleh karenanya, jika aku sudah mendengar teriakannya dari jauh dengan suaranya yang khas, aku langsung lari ke dalam rumah, atau jika ada ibuku, aku langsung sembunyi di balik badan ibuku. Hehehe, kalo dipikir ya, apa yang membuatku takut, sementara dia tidak bisa melihat, dan dia ga tau aku sembunyi atau tidak. Tapi itulah kenyataannya. Aku takut karena teriakannya dan profilnya yang menakutkan bagi windflowers kecil.
Saat aku melihat dia, dan hendak berpapasan dengan eng-eng, aku langsung melepaskan tanganku dari genggaman tangan ibuku, dan aku lari sekenceng-kencengnya... Ibuku tak bisa menahanku, meski beliau sempat bilang padaku bahwa, dia ga akan menggangguku. Karena rasa takut yang mendalam, aku tak menghiraukan nasihat ibuku, dan genggaman tangan ibuku pun aku lepaskan. Tak kuhiraukan teriakan ibuku yang memanggi-manggil namaku. Aku lari lumayan agak jauh, dan masuk ke rumah salah satu warga di gang itu, dengan nafas yang tersengal. Keringatpun bercucuran. Mungkin juga wajahku pucat pasi karena selain rasa takutku, juga karena kondisi badanku yang sedang sakit. Ibuku mencariku ke mana-mana. Beliau agak kehilangan jejakku. Sampai saat ibu menemukanku, beliau berkata kepada pemilik rumah, "punten ibu, ini anak saya udah tiba-tiba masuk ke rumah ibu. Maaf ya bu, mangga...permios." Kata ibuku meminta maaf pada pemilik rumah, karena aku udah sembunyi di rumahnya. Sebetulnya aku ga masuk ke dalem rumahnya sih. Hanya di teras yang tertutup benteng rumahnya. Jadi aku tak terlihat oleh eng-eng. Ibu pemilik rumahpun berkata dengan ramah, "ga apa-apa ibu, namanya juga anak-anak." Kata pemilik rumah, setelah ibuku bercerita sedikit mengapa aku sampai di sini.
Setelah saling bertukar senyum, ibuku langsung menggamit tanganku dan menuntunku. Sambil berjalan pulang, aku bilang sama ibuku bahwa aku ga mau ke dokter, karena kepalaku udah ga pusing lagi, dan suhu tubuhkupun sudah normal kembali. Ibuku menuruti keinginanku, setelah beliau menyentuh kening dan leherku dengan tangannya. Memang, tubuhku saat itu dingin, karena aku berkeringat.
Akhirnya aku benar-benar tak jadi ke dokter, karena aku sudah bisa pergi ke sekolah pada esok harinya. Sebuah ketakutanku yang mampu memicu adrenalinku muncul ke permukaan, sehingga bisa menjadi obat bagi sakitku, mampu menciptakan sebuah anti bodi untuk daya tahan yang alami bagi tubuhku, sehingga dia menjadi segar kembali.
Hingga kini eng-eng masih ada dan masih suka berkeliaran, tetapi dia sudah tidak berteriak-teriak lagi, karena mungkin dia sudah tua. Jika kebetulan dia lewat di depan rumahku, aku jadi ingat peristiwa ini, puluhan tahun yang lalu, dan tentu saja aku sudah tidak takut lagi jika melihatnya. Yang ada jadi pengen ketawa, jika ingat kekonyolanku waktu ku kecil dulu.
Terima kasih eng-eng, karena engkau udah jadi berkat bagi kesembuhanku waktu itu, meski aku harus mengumpulkan adrenalinku terlebih dahulu. Aku tak tau namamu yang sebenarnya, tapi aku yakin, doaku buatmu ga akan tertukar dengan yang lainnya.
Bandungku, nostalgiku...hehehe
0 komentar:
Posting Komentar