Pagiku hari ini benar-benar terasa berbeda...
Aku hanya bisa terdiam dan kelu, tak bisa berbuat apa-apa...
Hanya bisa melihat uraian air mata dan isak tangismu
Hanya bisa mendengar setiap isaknya, di sela-sela paparanmu dari bibirmu yang mungil
Tak kuasa aku untuk tetap tenang...
Aku hela satu tarikan nafas, dan dibuangnya kembali
Agar melebur bersama oksigen yang hendak aku ambil kembali....
Agar aku kuat mendengarkan semua ledakan yang ada di hatimu
Agar aku kuat menahan aliran kesedihan yang teramat sangat...
Ga tau kenapa kamu cerita ini padaku, dalam kapasitas apa kamu mau cerita sama aku, karena ini menyangkut kehidupanmu yang benar-benar sebuah inti dari hidupmu sendiri.. Sementara aku, belum begitu mengerti tentang kehidupan yang sesungguhnya, dan aku sendiri tengah belajar untuk mengertinya.
Satu dimensi pembelajaran kembali harus aku simak.... Biarlah aku kau anggap sebagai air yang kau butuhkan buat kamu minum... atau apapun istilahnya, aku ga keberatan.
Perbedaan usia yang fantastis, karena aku juga bisa memanggilmu ibu...
Berawal dari sebuah harapan untuk menambah keuangan keluarga, semua ini terjadi. Dengan bisnis yang ga jelas itu, tapi selalu saja dilakoni, karena iming-iming keuntungan yang besar, sementara modalnya boleh dibilang tak ada.
Lontaran-lontaran logis yang keluar waktu itu, pada saat menjalani bisnis ini, tak dihiraukan. Bahkan suaminya sendiri tak didengarkannya.
Entah bagaimana awalnya, tiba-tiba segudang kewajiban harus dipenuhi, sementara pemasukan hanya segitu-gitu aja....
Ada rasa yang tak biasa...saat aku dengar, bahwa rumah akan disita, karena sudah beberapa bulan menunggak kewajibannya. Aku shock...tapi aku tak bisa berbuat apa-apa...
Belum lagi kewajiban yang dipikulnya dari lintah darat. Wajahnya yang semakin tirus, membuktikan bahwa dia sedang depresi.
Sekali lagi kuhela nafas yang panjang... Kusimpan di dadaku, untuk kemudian aku buang lagi dengan pelan dan teratur.
Ini benar-benar keadaan yang sangat menghimpit. Aku pernah juga merasa ditipu, tapi perasaanku tak seberat ini. Padahal apa yang aku dengar ini, jelas-jelas bukan aku yang mengalaminya.
Empatiku benar-benar teruji secara alamiah...wajahku tiba-tiba muram, dan mataku agak berkabut. Meski aku hanya mendengarkannya, tapi di dalam hatiku, aku berdoa untuk dia, agar dia diberi kekuatan untuk menghadapi semua yang terjadi, dan yang akan terjadi padanya. Terlebih, saat dia berpesan pada anaknya, jika terjadi sesuatu atas dirinya, semua catatan ada di tasnya. Secara tersirat, ungkapan itu menunjukkan bahwa dia sudah tidak kuat lagi menghadapi bebannya kewajiban di pundaknya, dan dia akan melenyapkan dirinya sendiri dari muka bumi yang dipijaknya.
Sekali lagi, aku hanya diam. Tak ada kata yang terucap. Lirih hanya aku berkata padanya, bahwa dengan melenyapkan diri dari muka bumi ini adalah bukan jalan yang terbaik. Itu saja rangkaian kata yang keluar dari mulutku. Tak ada kata nasehat, menggurui, atau menghakiminya. Kapasitasku hanya mendengarkannya saja. Tak lebih dari itu, karena akupun tak mau terlibat lebih jauh dengan berkata yang bukan menjadi hakku.
Ternyata, kehidupan glamour yang sempat muncul di dalam keluarganya, konsumerisme, hedonisme, dan menjaga sebentuk citra hebat, telah menyeretnya ke dalam keadaan yang sungguh memprihatinkan di masa depannya. Semua dia alami hanya sendiri, terlihat sendiri dengan keterpurukannya. Tak ada yang bisa membantu, menolong, dan mengangkatnya kembali, termasuk keluarganya.
Citra sederhana di jaman sekarang ini sungguh amat jarang ditemukan dimanapun kita berada. Semuanya seperti terseret oleh badai keangkuhan dan semacamnya. Demi gengsi, terkadang kita tak mampu menahan diri untuk hanyut di dalamnya. Tak mau bersusah payah untuk melawan arus yang menerjang kita.
Kehidupan yang sejati telah menambah perbendaharaannya di dalam lubuk hatiku. Akan aku pegang kuat agar apa yang aku rasakan saat ini, tidak aku rasakan dengan sesungguhnya, di masa kini dan yang akan datang.
Aku hanya bisa terdiam dan kelu, tak bisa berbuat apa-apa...
Hanya bisa melihat uraian air mata dan isak tangismu
Hanya bisa mendengar setiap isaknya, di sela-sela paparanmu dari bibirmu yang mungil
Tak kuasa aku untuk tetap tenang...
Aku hela satu tarikan nafas, dan dibuangnya kembali
Agar melebur bersama oksigen yang hendak aku ambil kembali....
Agar aku kuat mendengarkan semua ledakan yang ada di hatimu
Agar aku kuat menahan aliran kesedihan yang teramat sangat...
Ga tau kenapa kamu cerita ini padaku, dalam kapasitas apa kamu mau cerita sama aku, karena ini menyangkut kehidupanmu yang benar-benar sebuah inti dari hidupmu sendiri.. Sementara aku, belum begitu mengerti tentang kehidupan yang sesungguhnya, dan aku sendiri tengah belajar untuk mengertinya.
Satu dimensi pembelajaran kembali harus aku simak.... Biarlah aku kau anggap sebagai air yang kau butuhkan buat kamu minum... atau apapun istilahnya, aku ga keberatan.
Perbedaan usia yang fantastis, karena aku juga bisa memanggilmu ibu...
Berawal dari sebuah harapan untuk menambah keuangan keluarga, semua ini terjadi. Dengan bisnis yang ga jelas itu, tapi selalu saja dilakoni, karena iming-iming keuntungan yang besar, sementara modalnya boleh dibilang tak ada.
Lontaran-lontaran logis yang keluar waktu itu, pada saat menjalani bisnis ini, tak dihiraukan. Bahkan suaminya sendiri tak didengarkannya.
Entah bagaimana awalnya, tiba-tiba segudang kewajiban harus dipenuhi, sementara pemasukan hanya segitu-gitu aja....
Ada rasa yang tak biasa...saat aku dengar, bahwa rumah akan disita, karena sudah beberapa bulan menunggak kewajibannya. Aku shock...tapi aku tak bisa berbuat apa-apa...
Belum lagi kewajiban yang dipikulnya dari lintah darat. Wajahnya yang semakin tirus, membuktikan bahwa dia sedang depresi.
Sekali lagi kuhela nafas yang panjang... Kusimpan di dadaku, untuk kemudian aku buang lagi dengan pelan dan teratur.
Ini benar-benar keadaan yang sangat menghimpit. Aku pernah juga merasa ditipu, tapi perasaanku tak seberat ini. Padahal apa yang aku dengar ini, jelas-jelas bukan aku yang mengalaminya.
Empatiku benar-benar teruji secara alamiah...wajahku tiba-tiba muram, dan mataku agak berkabut. Meski aku hanya mendengarkannya, tapi di dalam hatiku, aku berdoa untuk dia, agar dia diberi kekuatan untuk menghadapi semua yang terjadi, dan yang akan terjadi padanya. Terlebih, saat dia berpesan pada anaknya, jika terjadi sesuatu atas dirinya, semua catatan ada di tasnya. Secara tersirat, ungkapan itu menunjukkan bahwa dia sudah tidak kuat lagi menghadapi bebannya kewajiban di pundaknya, dan dia akan melenyapkan dirinya sendiri dari muka bumi yang dipijaknya.
Sekali lagi, aku hanya diam. Tak ada kata yang terucap. Lirih hanya aku berkata padanya, bahwa dengan melenyapkan diri dari muka bumi ini adalah bukan jalan yang terbaik. Itu saja rangkaian kata yang keluar dari mulutku. Tak ada kata nasehat, menggurui, atau menghakiminya. Kapasitasku hanya mendengarkannya saja. Tak lebih dari itu, karena akupun tak mau terlibat lebih jauh dengan berkata yang bukan menjadi hakku.
Ternyata, kehidupan glamour yang sempat muncul di dalam keluarganya, konsumerisme, hedonisme, dan menjaga sebentuk citra hebat, telah menyeretnya ke dalam keadaan yang sungguh memprihatinkan di masa depannya. Semua dia alami hanya sendiri, terlihat sendiri dengan keterpurukannya. Tak ada yang bisa membantu, menolong, dan mengangkatnya kembali, termasuk keluarganya.
Citra sederhana di jaman sekarang ini sungguh amat jarang ditemukan dimanapun kita berada. Semuanya seperti terseret oleh badai keangkuhan dan semacamnya. Demi gengsi, terkadang kita tak mampu menahan diri untuk hanyut di dalamnya. Tak mau bersusah payah untuk melawan arus yang menerjang kita.
Kehidupan yang sejati telah menambah perbendaharaannya di dalam lubuk hatiku. Akan aku pegang kuat agar apa yang aku rasakan saat ini, tidak aku rasakan dengan sesungguhnya, di masa kini dan yang akan datang.
0 komentar:
Posting Komentar