Saat hati terkoyak, menjadi layu, dan kering. Sesaat sebelum dia menjadi hancur dengan serpihannya yang gampang diterbangkan oleh angin.
Satu bintang tampak lebih bersinar dari pada bintang-bintang lainnya. Sepertinya, dia tersenyum hanya kepadaku saja. Menawarkan satu sentuhan rasa yang sangat eksklusif, yang belum pernah aku rasakan sebelumnya, di saat itu.
Dengan kesederhanaan dan sensor hati yang seadanya di batinku, aku mencoba menatapnya lewat jejak cahaya yang berpendar, diturunkannya ke bumi, tepat di depanku.
Suasana di batinku yang sangat lelah, dengan pancaran wajah yang kuyu dan mata yang sembab oleh jalannya air mata karena terluka... Sedikit demi sedikit seperti terbasuh oleh cahaya itu. Cahaya bintangku yang tak mungkin aku rengkuh dengan sepenuh hatiku. Aku, merasa sangatlah kecil di hadapannya, mulai dari strata sosial hingga etnis yang berbeda. Walaupun dari sejak semula aku sadar, bahwa jarak dari letak kami berada, sangatlah jauh (bayangin aja, jarak dari bumi ke langit...hehehe), dengan ketulusannya, bintangku tetap selalu mau menyinariku dengan segenap hatinya.
Sikapnya yang rendah hati dengan tutur kata yang teratur penuh etika, sangat mencerminkan pendidikan yang melekat di dirinya, membawaku ke sesuatu yang real : bahwa segalanya akan baik-baik saja. Satu dinamika cinta yang tak dapat aku lupakan di sepanjang hidupku.
Aku memanggilnya Bintang (dulu dia sempet marah, karena dia ingin menyetarakan segala kondisinya yg ada, dengan kondisiku).
Aku memanggilnya Bintang, karena sekali lagi aku yakin, bahwa dia tak mungkin aku raih. Cukup dengan cahayanya saja yang dapat hadir di depanku, aku sudah sangat bersyukur dan menganggap semua ini adalah bagian dari taburan rahmatNya buatku.
Waktu terus berjalan, tak peduli dengan segala rasaku tentangnya. Ada tersirat bangga, rindu, gelisah, panik dengan setiap debaran jantungku yang berdesir manja, dan khawatir melengkapi bank rasa di medan kalbuku. Keciutan hatiku, lama kelamaan tak dapat kusembunyikan darinya. Seakan tahu hatiku, Bintangku semakin meyakinkan padaku, bahwa kehadirannya memang ada hanya buatku.
Tetapi, semakin dia meyakinkanku, gunung yang tersibak antara aku dan dia semakin lama semakin membumbung menjadi batu cadas yang sangat keras. Sinar dari Bintangku makin lama makin redup, terhalangi oleh gunung yang ada di antaranya.
Masih dengan ketulusanku. Aku jalani semua ini. Aku makin lelah dengan keadaan ini. Sementara, cahaya Bintangku semakin lemah. Hingga suatu hari di temaramnya senja itu, aku mendapati diriku ada di dalam kegelapan : sendiri...
Lewat angin yang berhembus ketika itu, Bintangku berkata bahwa akulah wanita yang paling mulia yang pernah dia temui. Ketulusan, perhatian, dan sikapku yang sederhana dan apa adanya ini, membuatnya ingin selalu bersinar untukku. Namun, dia tidak berdaya menghadapi gunung tua itu, dia merasa lemah oleh kehadirannya, meski Bintangku tak pernah berucap sesuatu halpun padaku, namun batinku dapat merasakannya.
Sejak itu, di atas semuanya...akhirnya bintangku memanggilku sebagai Guardian Angel buatnya. Satu bisikannya di telingaku yang tak kan pernah dapat kulupa, "Guardian Angelku, tetaplah kau menjadi guardian angelku. Aku tak mau sayapmu patah, apalagi sampai terluka. Aku, tak akan mendapatkan lagi guardian angel yang lainnya. Dan aku, masih akan tetap di sini..."
Air mata yang sejak tadi kutahan, akhirnya meleleh juga di kedua pipiku, di wajah oriental ku, menitik hangat. Tak deras, namun terasa perih. Ini jelas merupakan kata-kata perpisahan darinya. Berpisah, namun ada rasa sayang yang tersirat di wajahnya. Seluruh rasaku luruh...seiring air mataku saat itu. Dan...kekuatan di batinku, tak akan penah bisa membohongiku, namun binar-binar cahayanya akan selalu berbias.
Bandungku, aku terkenang Bintangku...
Satu bintang tampak lebih bersinar dari pada bintang-bintang lainnya. Sepertinya, dia tersenyum hanya kepadaku saja. Menawarkan satu sentuhan rasa yang sangat eksklusif, yang belum pernah aku rasakan sebelumnya, di saat itu.
Dengan kesederhanaan dan sensor hati yang seadanya di batinku, aku mencoba menatapnya lewat jejak cahaya yang berpendar, diturunkannya ke bumi, tepat di depanku.
Suasana di batinku yang sangat lelah, dengan pancaran wajah yang kuyu dan mata yang sembab oleh jalannya air mata karena terluka... Sedikit demi sedikit seperti terbasuh oleh cahaya itu. Cahaya bintangku yang tak mungkin aku rengkuh dengan sepenuh hatiku. Aku, merasa sangatlah kecil di hadapannya, mulai dari strata sosial hingga etnis yang berbeda. Walaupun dari sejak semula aku sadar, bahwa jarak dari letak kami berada, sangatlah jauh (bayangin aja, jarak dari bumi ke langit...hehehe), dengan ketulusannya, bintangku tetap selalu mau menyinariku dengan segenap hatinya.
Sikapnya yang rendah hati dengan tutur kata yang teratur penuh etika, sangat mencerminkan pendidikan yang melekat di dirinya, membawaku ke sesuatu yang real : bahwa segalanya akan baik-baik saja. Satu dinamika cinta yang tak dapat aku lupakan di sepanjang hidupku.
Aku memanggilnya Bintang (dulu dia sempet marah, karena dia ingin menyetarakan segala kondisinya yg ada, dengan kondisiku).
Aku memanggilnya Bintang, karena sekali lagi aku yakin, bahwa dia tak mungkin aku raih. Cukup dengan cahayanya saja yang dapat hadir di depanku, aku sudah sangat bersyukur dan menganggap semua ini adalah bagian dari taburan rahmatNya buatku.
Waktu terus berjalan, tak peduli dengan segala rasaku tentangnya. Ada tersirat bangga, rindu, gelisah, panik dengan setiap debaran jantungku yang berdesir manja, dan khawatir melengkapi bank rasa di medan kalbuku. Keciutan hatiku, lama kelamaan tak dapat kusembunyikan darinya. Seakan tahu hatiku, Bintangku semakin meyakinkan padaku, bahwa kehadirannya memang ada hanya buatku.
Tetapi, semakin dia meyakinkanku, gunung yang tersibak antara aku dan dia semakin lama semakin membumbung menjadi batu cadas yang sangat keras. Sinar dari Bintangku makin lama makin redup, terhalangi oleh gunung yang ada di antaranya.
Masih dengan ketulusanku. Aku jalani semua ini. Aku makin lelah dengan keadaan ini. Sementara, cahaya Bintangku semakin lemah. Hingga suatu hari di temaramnya senja itu, aku mendapati diriku ada di dalam kegelapan : sendiri...
Lewat angin yang berhembus ketika itu, Bintangku berkata bahwa akulah wanita yang paling mulia yang pernah dia temui. Ketulusan, perhatian, dan sikapku yang sederhana dan apa adanya ini, membuatnya ingin selalu bersinar untukku. Namun, dia tidak berdaya menghadapi gunung tua itu, dia merasa lemah oleh kehadirannya, meski Bintangku tak pernah berucap sesuatu halpun padaku, namun batinku dapat merasakannya.
Sejak itu, di atas semuanya...akhirnya bintangku memanggilku sebagai Guardian Angel buatnya. Satu bisikannya di telingaku yang tak kan pernah dapat kulupa, "Guardian Angelku, tetaplah kau menjadi guardian angelku. Aku tak mau sayapmu patah, apalagi sampai terluka. Aku, tak akan mendapatkan lagi guardian angel yang lainnya. Dan aku, masih akan tetap di sini..."
Air mata yang sejak tadi kutahan, akhirnya meleleh juga di kedua pipiku, di wajah oriental ku, menitik hangat. Tak deras, namun terasa perih. Ini jelas merupakan kata-kata perpisahan darinya. Berpisah, namun ada rasa sayang yang tersirat di wajahnya. Seluruh rasaku luruh...seiring air mataku saat itu. Dan...kekuatan di batinku, tak akan penah bisa membohongiku, namun binar-binar cahayanya akan selalu berbias.
Bandungku, aku terkenang Bintangku...
0 komentar:
Posting Komentar