Hari ini Chika ga banyak kata. Dia hanya terdiam kelu, dengan mata yang berbayang seperti hendak menangis. Aku yang melihatnya, sengaja seolah tak memperhatikannya. Aku tak mau mengusik segala lintasan yang ada di benaknya. Aku mengerti itu, karena dia beberapa hari ini memang agak pendiam, tak seperti biasanya, dan kalo udah kayak gini, aku cuma bisa diam, dan menunggu dia untuk tenang kembali dan akhirnya menyapaku dengan sikap yang biasa-biasa saja.
"Ri, aku pengen ngomong sama kamu," akhirnya Chika ngomong juga.
"Ya ngomong aja Ka," jawabku pura-pura tak mengerti dengan apa yang dia rasakan.
"Aku bingung, ni..kemaren suamiku telepon, kalo aku harus ikut dia ke Papua. Dilema juga sih.. Kamu tau sendiri kan, gimana kehidupan keluargaku,"
Mmmhhh, memang bener-bener dilema sih. Hehehe... Aku bukan mengulang yang Chika omongin barusan. Aku cuma mencoba berempati sama apa yang sedang dia hadapi sekarang. Kalo Riri jadi Chika, emang bingung banget, harus ikut suaminya ato ga. Kalo ikut suaminya ke Papua, bingung. Harus beradaptasi dengan lingkungan di Papua, tepatnya di lingkungan Suku Dani. Tapi kalo tetep tinggal di kota ini, yang nota bene cuma bisa dikunjungi suaminya untuk 10 bulan sekali. Mana tahaannnn.... Pokoknya kompleks banget deh ngebayanginnya. Belum lagi anaknya yang masih umur 3,5 tahun. Masa harus single fighter, sementara dia punya suami. Dia sudah melalui kondisi seperti ini selama kurang lebih lima tahun, pas awal mereka menikah. Chika menikah di usia 20 tahun.
Aku hanya bisa menatapnya dengan penuh haru. "Kamu ga usah bingung, Ka.. Seorang cewek, kalo udah menikah, dia berarti udah menjadi tanggungan suami. Kalo menurutku sih, kamu ikutin aja apa yang jadi keinginan suamimu. Sekarang, hidupmu udah buat suami dan anakmu. Kamu juga ga mau kan kalo lama-lama kamu termakan sendiri sama kebingunganmu,"
"Ngerti kan maksudku?" jawabku, seolah tak mengerti kata hati Chika, yang kalo aku lihat, dia lebih suka tinggal di sini, di Jakarta, bersama kedua orang tuanya.
Kebayang aja gitu, hidup sepi tanpa suami, dan sehari-hari dia hanya berteman internet (baca: FB) untuk mengusir segala kejenuhan yang menderanya.
Hari lepas hari setelah pertemuanku dengan Chika, kembali ada kabar dari Chika bahwa dia akhirnya memutuskan untuk ikut dengan suaminya, apapun yang terjadi. Bulan depan, dia bener-bener telah menguatkan niatnya untuk ikut dengan suaminya. Aku hanya bisa berdoa, agar apa yang dia putuskan saat ini, tidak berubah lagi untuk kesekian kalinya.
Chika, sahabatku akhirnya memilih untuk mendengarkan suara hatinya yang paling dalam, yang selama ini mungkin - pasti sangatlah dia perlukan di dalam kehidupannya bersama suami dan anaknya.
Lagu Trouble is a Friend dari Lenka, menjadi saksi perpisahanku dengan Chika, sahabatku yang paling manis yang pernah kutemui. Gerak langkahnya yang kemayu namun tetap menyimpan kekuatan yang hakiki sebagai seorang wanita. Punya kepribadian yang sangat kuat. Aku salut dengannya.
Hari ini, perjalanan di mobil yang mengantarkan kami untuk jalan-jalan keliling kota untuk yang terakhir kalinya. Kami sadar, bahwa kami belum tentu bisa bertemu kembali. Kami benar-benar menikmati kebersamaan ini dalam diam dan dengan diam-diam pula, air mata mengalir perlahan dari mata kami, demi persahabatan ini.
"Riri, kutinggal senyumku di sini... Jangan lupakan aku ya Ri..." ucapnya lirih sambil memelukku erat. Dion hanya bisa memandangi kami yang sedang berpeluk pisah ini. Aku hampiri Dion dan memeluknya, sambil mengusap kepalanya aku berujar, "Jangan nakal ya Dion... Kamu harus jagain mama kamu..." Dion hanya tersenyum dan mengangguk. Aku tak kuasa melihat binar bola matanya.
Jagoan kecil Chika berikut kelucuannya akan selalu ada di batinku. Persahabatan ini terlalu indah untuk ditukar dengan apapun juga.
"Bawalah senyumku juga kemanapun kamu pergi, Chika." ujarku sambil memeluknya lagi dengan erat.
"Hati-hati selalu ya..." sambungku lagi.
"Iya.. Kamu juga ya, hati-hati..." jawabnya sambil melepaskan pelukannya.
Mungkin kalo supirnya ga mengingatkan kami karena memang Chika harus pergi, kita masih terus kangen-kangenan.
Chika, meski persahabatan kita dimulai dari dunia maya, tapi semua begitu bermakna. Saling memberi warna dan arti. Memberi kasih dan perhatian, untuk menguatkan segala yang telanjur menjadikannya lemah.
Kini, tak ada lagi deringan telepon Chika untuk minta ketemu dan curhat atas segala yang menimpanya. Aku lebih banyak tahu masalah dia, karena dia selalu menceritakan apapun tentangnya kepadaku. Sekarang, tinggal bayangan senyumnya yang menjelma. Kembali ke sedia kala...
"Ri, aku pengen ngomong sama kamu," akhirnya Chika ngomong juga.
"Ya ngomong aja Ka," jawabku pura-pura tak mengerti dengan apa yang dia rasakan.
"Aku bingung, ni..kemaren suamiku telepon, kalo aku harus ikut dia ke Papua. Dilema juga sih.. Kamu tau sendiri kan, gimana kehidupan keluargaku,"
Mmmhhh, memang bener-bener dilema sih. Hehehe... Aku bukan mengulang yang Chika omongin barusan. Aku cuma mencoba berempati sama apa yang sedang dia hadapi sekarang. Kalo Riri jadi Chika, emang bingung banget, harus ikut suaminya ato ga. Kalo ikut suaminya ke Papua, bingung. Harus beradaptasi dengan lingkungan di Papua, tepatnya di lingkungan Suku Dani. Tapi kalo tetep tinggal di kota ini, yang nota bene cuma bisa dikunjungi suaminya untuk 10 bulan sekali. Mana tahaannnn.... Pokoknya kompleks banget deh ngebayanginnya. Belum lagi anaknya yang masih umur 3,5 tahun. Masa harus single fighter, sementara dia punya suami. Dia sudah melalui kondisi seperti ini selama kurang lebih lima tahun, pas awal mereka menikah. Chika menikah di usia 20 tahun.
Aku hanya bisa menatapnya dengan penuh haru. "Kamu ga usah bingung, Ka.. Seorang cewek, kalo udah menikah, dia berarti udah menjadi tanggungan suami. Kalo menurutku sih, kamu ikutin aja apa yang jadi keinginan suamimu. Sekarang, hidupmu udah buat suami dan anakmu. Kamu juga ga mau kan kalo lama-lama kamu termakan sendiri sama kebingunganmu,"
"Ngerti kan maksudku?" jawabku, seolah tak mengerti kata hati Chika, yang kalo aku lihat, dia lebih suka tinggal di sini, di Jakarta, bersama kedua orang tuanya.
Kebayang aja gitu, hidup sepi tanpa suami, dan sehari-hari dia hanya berteman internet (baca: FB) untuk mengusir segala kejenuhan yang menderanya.
Hari lepas hari setelah pertemuanku dengan Chika, kembali ada kabar dari Chika bahwa dia akhirnya memutuskan untuk ikut dengan suaminya, apapun yang terjadi. Bulan depan, dia bener-bener telah menguatkan niatnya untuk ikut dengan suaminya. Aku hanya bisa berdoa, agar apa yang dia putuskan saat ini, tidak berubah lagi untuk kesekian kalinya.
Chika, sahabatku akhirnya memilih untuk mendengarkan suara hatinya yang paling dalam, yang selama ini mungkin - pasti sangatlah dia perlukan di dalam kehidupannya bersama suami dan anaknya.
Lagu Trouble is a Friend dari Lenka, menjadi saksi perpisahanku dengan Chika, sahabatku yang paling manis yang pernah kutemui. Gerak langkahnya yang kemayu namun tetap menyimpan kekuatan yang hakiki sebagai seorang wanita. Punya kepribadian yang sangat kuat. Aku salut dengannya.
Hari ini, perjalanan di mobil yang mengantarkan kami untuk jalan-jalan keliling kota untuk yang terakhir kalinya. Kami sadar, bahwa kami belum tentu bisa bertemu kembali. Kami benar-benar menikmati kebersamaan ini dalam diam dan dengan diam-diam pula, air mata mengalir perlahan dari mata kami, demi persahabatan ini.
"Riri, kutinggal senyumku di sini... Jangan lupakan aku ya Ri..." ucapnya lirih sambil memelukku erat. Dion hanya bisa memandangi kami yang sedang berpeluk pisah ini. Aku hampiri Dion dan memeluknya, sambil mengusap kepalanya aku berujar, "Jangan nakal ya Dion... Kamu harus jagain mama kamu..." Dion hanya tersenyum dan mengangguk. Aku tak kuasa melihat binar bola matanya.
Jagoan kecil Chika berikut kelucuannya akan selalu ada di batinku. Persahabatan ini terlalu indah untuk ditukar dengan apapun juga.
"Bawalah senyumku juga kemanapun kamu pergi, Chika." ujarku sambil memeluknya lagi dengan erat.
"Hati-hati selalu ya..." sambungku lagi.
"Iya.. Kamu juga ya, hati-hati..." jawabnya sambil melepaskan pelukannya.
Mungkin kalo supirnya ga mengingatkan kami karena memang Chika harus pergi, kita masih terus kangen-kangenan.
Chika, meski persahabatan kita dimulai dari dunia maya, tapi semua begitu bermakna. Saling memberi warna dan arti. Memberi kasih dan perhatian, untuk menguatkan segala yang telanjur menjadikannya lemah.
Kini, tak ada lagi deringan telepon Chika untuk minta ketemu dan curhat atas segala yang menimpanya. Aku lebih banyak tahu masalah dia, karena dia selalu menceritakan apapun tentangnya kepadaku. Sekarang, tinggal bayangan senyumnya yang menjelma. Kembali ke sedia kala...
4 komentar:
semoga keputusan yg diambil adalah yg terbaik
terlebih unk niat mulia, mengabdi pada suami
dan persahabatan, tak kan luntur hanya krn terpisah jarak
have a nice dream ^^
kisah yang menyentuh...
@inge.. amin non..makasi ya.. :)
@seiri.. mmhh..iya mba..makasi :)
kutinggalkan jejak disini aja, tetap semangat, keep smile...
Posting Komentar