Rasaku pada embunku, yang datang dengan rendah hati, tak dapat diraba dan dilihat, namun dapat kukecap, dan kehadirannya sanggup terasakan oleh inderaku yang lainnya.
Kesejukannya kurasakan bagai air penyambung bagi nyawa dan jiwaku, hingga aku masih ada di sini sampai detik ini.
Tak seperti matahari, yang kehadirannya terkadang terhalangi oleh awan tebal di pagi hari, yang sinarnya kemudian sangat menyengat.
Tak seperti rembulan, yang terkadang bentuknya sabit, sepotong, dan purnama, dan terkadang angin mempermainkannya, dengan menghalau mega hingga menyaputnya, menutupinya, datang dan pergi berlalu...miris, meski masih saja indah.
Tak seperti hujan, yang terkadang disertai badai yang berkepanjangan. Berkolaborasi dengan patahan-patahan es penuh konspirasi.
Tak seperti pelangi, yang sangat indah namun kehadirannya tak menentu dan hanya sesaat saja.
Tak seperti bintangku, yang cahayanya semakin lama semakin redup, pudar, tanpa bisa mengayomi dan memanage sinarnya untuk bumi. Kehadirannya pun seringkali dipengaruhi oleh angin dan awan yamg membuatnya bersembunyi di baliknya, menenggelamkan segala bentuk kerlip cemerlangnya.
Tak seperti musim semiku, yang hanya memberikan senyum di musimnya saja, dan akhirnya menghancurkan pesonanya sendiri di tengah kegundahan yang tak berujung.
Embun pagiku, tak pernah terpengaruh oleh unsur alam lainnya. Embunku malah sanggup memanfaatkannya demi hadirnya. Saat malam mulai larut, dia selalu datang dengan bentuk yang indah bagai permata bening dalam nuansa pagi (bukan acara berita di RCTI lho hehe). Tak peduli hujan, tak peduli angin, tak peduli awan, tak peduli mendung, tak peduli matahari yang kelak membawamu kembali, namun sinarnya sempat membuat embun pagiku menjadi kristal indah. Kebeningan dan ketulusan keindahan yang memancar, membasahi bumi, menyejukkan, dan menentramkan jiwa di dalam keheningannya. Tak ada kata egois. Setiap hari dia selalu berkenan singgah beberapa lamanya bersamaku, bermain, saling tukar senyum dan tawa, bersenda gurau, bahkan bercumbu denganku, hingga dia menghilang di pori-poriku, menyatu dalam tubuh dan jiwaku, serta seluruh pikiranku, seiring mentari yang muncul setelah beberapa saatnya.
Embun pagiku, embun kerendah hatianku. Kecerahanku dalam menyambut setiap pagi. Aku banyak belajar darimu. Meski engkau datang dari langit, namun engkau tak pernah hadir dalam arogansi. Engkau tetap menjadi dirimu dengan karakter yang kuat ingin menyegarkan dan menyejukkan bumi dan seluruh isinya. Engkau, anugerah Ilahi yang paling kukasihi, yang paling rendah hati, yang paling aku banggakan dan aku hargai. Kilaumu akan senantiasa membayangiku, selalu dalam sepanjang waktuku.
bandungku, kuharap engkau juga mengasihi embun pagiku, selalu...
Kesejukannya kurasakan bagai air penyambung bagi nyawa dan jiwaku, hingga aku masih ada di sini sampai detik ini.
Tak seperti matahari, yang kehadirannya terkadang terhalangi oleh awan tebal di pagi hari, yang sinarnya kemudian sangat menyengat.
Tak seperti rembulan, yang terkadang bentuknya sabit, sepotong, dan purnama, dan terkadang angin mempermainkannya, dengan menghalau mega hingga menyaputnya, menutupinya, datang dan pergi berlalu...miris, meski masih saja indah.
Tak seperti hujan, yang terkadang disertai badai yang berkepanjangan. Berkolaborasi dengan patahan-patahan es penuh konspirasi.
Tak seperti pelangi, yang sangat indah namun kehadirannya tak menentu dan hanya sesaat saja.
Tak seperti bintangku, yang cahayanya semakin lama semakin redup, pudar, tanpa bisa mengayomi dan memanage sinarnya untuk bumi. Kehadirannya pun seringkali dipengaruhi oleh angin dan awan yamg membuatnya bersembunyi di baliknya, menenggelamkan segala bentuk kerlip cemerlangnya.
Tak seperti musim semiku, yang hanya memberikan senyum di musimnya saja, dan akhirnya menghancurkan pesonanya sendiri di tengah kegundahan yang tak berujung.
Embun pagiku, tak pernah terpengaruh oleh unsur alam lainnya. Embunku malah sanggup memanfaatkannya demi hadirnya. Saat malam mulai larut, dia selalu datang dengan bentuk yang indah bagai permata bening dalam nuansa pagi (bukan acara berita di RCTI lho hehe). Tak peduli hujan, tak peduli angin, tak peduli awan, tak peduli mendung, tak peduli matahari yang kelak membawamu kembali, namun sinarnya sempat membuat embun pagiku menjadi kristal indah. Kebeningan dan ketulusan keindahan yang memancar, membasahi bumi, menyejukkan, dan menentramkan jiwa di dalam keheningannya. Tak ada kata egois. Setiap hari dia selalu berkenan singgah beberapa lamanya bersamaku, bermain, saling tukar senyum dan tawa, bersenda gurau, bahkan bercumbu denganku, hingga dia menghilang di pori-poriku, menyatu dalam tubuh dan jiwaku, serta seluruh pikiranku, seiring mentari yang muncul setelah beberapa saatnya.
Embun pagiku, embun kerendah hatianku. Kecerahanku dalam menyambut setiap pagi. Aku banyak belajar darimu. Meski engkau datang dari langit, namun engkau tak pernah hadir dalam arogansi. Engkau tetap menjadi dirimu dengan karakter yang kuat ingin menyegarkan dan menyejukkan bumi dan seluruh isinya. Engkau, anugerah Ilahi yang paling kukasihi, yang paling rendah hati, yang paling aku banggakan dan aku hargai. Kilaumu akan senantiasa membayangiku, selalu dalam sepanjang waktuku.
bandungku, kuharap engkau juga mengasihi embun pagiku, selalu...
0 komentar:
Posting Komentar